Realitas Virtual dan Makin Luruhnya Bangsa

Sosiologi, Teknologi


Share

“Blog

Masihkah kita bisa yakin dengan penataran, sementara kian hari semakin banyak kaum tua dimakamkan? Tampaknya semua orang harus mulai siap menerima dengan lapang hadirnya sebuah generasi yang dibesarkan dengan kesadaran sejarah yang, dalam pandangan kita, terlihat koyak. Bagaimana mungkin, misalnya, seorang pelajar SD di tahun 2010 masih tertarik dengan dongeng kita tentang PKI? Tak seorang pun bisa mengisi ruang peduli di hati dan pikirannya dengan rentang waktu begitu jauh. Orang seusia saya, yang lahir persis ketika dekade 1960-an akan pungkas dan masih sedikit berbau darah, misalnya, toh hanya bisa mengenang para jenderal yang dikuburkan dalam keprihatinan riuhrendah itu, tanpa dendam dan keharusan untuk hidup dalam suasana hati (dan politik tentu saja) yang sama dengan orang-orang sebelum kami. Padahal kami tak cukup beruntung untuk tumbuh dan besar bersama meledaknya revolusi teknologi informasi sampai melahirkan komunitas-komunitas virtual seperti sekarang. Dan kini, kami adalah generasi baru orang tua yang gembira membagi waktu dengan pelbagai media untuk membesarkan anak-anak. Bukan semata karena kesibukan kerja kami, melainkan lebih karena saat ini kami sadar betapa sejak dalam kandungan anak-anak kami telah demikian akrab dengan media.



Karena itu, mencari legitimasi bagi kekuasaan hari ini melalui apa yang kerap disebut sebagai program “pelurusan sejarah” akan tampak sangat moronis dan karikaturis belaka. Ungkapan meluruskan sejarah sendiri berarti kita berusaha merapikan kusutmasai riwayat masa silam yang kita buat. Tapi untuk apa dan siapa? Melulu berkutat dengan kisah masa lalu adalah cermin dari sikap mencintai diri secara berlebihan. Dengan cara itu kita berharap agar tumbuh semacam hormat dan, kalau bisa, kagum yang besar dari anak-anak kita. Ada sejenis heroisme yang berusaha tampil bersaing dengan gerombolan idola-idola baru.

Mencoba menjadi hero atau idola tidak lain adalah proses dengan apa secara tanpa sadar kita tengah membinasakan diri sendiri. Karena idola berarti berhala, seonggok benda mati yang disanjung sembah tapi tak pernah benar-benar ditaati. Lagi pula zaman memang telah terlalu banyak berubah. Di pelbagai media dan kesempatan kita begitu payah berusaha menanamkan bermacam-macam ajaran bagi anak-anak kita, di rumah mereka kita latih untuk menjadi pengelana cyberspace yang handal. Anak-anak kita besarkan selalu dengan hati yang rengkah dan rawan: antara rasa takut akan lenyapnya pelbagai nilai dan norma yang pernah membesarkan kita, dan keinginan agar anak-anak kita tidak jadi pecundang dalam balapan melahap informasi dari seluruh bumi.

Lambat atau cepat, keterbelahan hati seperti itu akhirnya akan pupus bersama pelbagai kejadian yang mengalir begitu deras. Kita musti mati tanpa beban mewariskan apa yang kita anggap benar kepada keturunan kita sendiri. Ketika kita mulai mengajari mereka untuk menancapkan dirinya ke dalam jaring-jaring telekomunikasi sejagat, saat itulah kita tengah mempersiapkan sebuah kondisi bagi pelenyapan dunia hunian kita di masa depan. Berbahagialah! Karena buah cinta kita akan menghuni sebuah dunia yang sama sekali baru. Dunia tempat kita bisa istirahat dari seluruh kepenatan nasib dan tanggungjawab, dan lantas menarik diri sepenuhnya. Tak lama lagi akan hadir anak-anak yang dengan mudah bisa menekuk-nekuk semesta, kemudian melipat dan menyalinnya secara otomatis dan tak terbatas.

Bayangkan bahwa pada tahun 2005 yang akan datang, anak saya yang baru berusia 8 tahun, misalnya, sejak kecil telah terbiasa untuk menancapkan diri pada sebuah suasana pergaulan lintas benua melalui internet. Dunianya bukanlah lagi sebatas “tempat kayu dan batu jadi tanaman”, melainkan juga bukit salju, panorama Switzerland, safana Afrika, atau tempat-tempat apa saja yang sekarang mungkin belum lagi ada. Ia tidak akan kerepotan dengan persoalan-persoalan yang membuat kita seperti orang lumpuh saat ini: tidak bisa bergerak secara bebas karena pelbagai hambatan geografis, geopolitis atau kultural. Sejak bayi ia sudah terbiasa melihat bagaimana seseorang bisa berada di tempat-tempat yang sangat berjauhan hanya dalam satu penggalan bait lagu-lagu di MTV atau ANTV. Dalam jaring raksasa internet sedunia, ia bukan hanya akan sanggup melakukan perpindahan-perpindahan persepsi spasial secara cepat melainkan, lebih dari itu, membangun realitas-realitas kehidupan, baik berdasarkan model dari realitas aktual maupun sebuah dunia yang sama sekali hanya ada dalam fantasi dan imajinasinya: Objek-objek virtual tiga dimensi yang berceceran entah di mana tempatnya dalam dunia aktual, tapi secara real bisa dirasakan ketika anak-anak kita menjadi warga resmi dari cyberspace. Segalanya akan dimulai kembali dari awal tanpa bisa kita cegah atau campuri.


Objek virtual tiga dimensi pertama kali muncul dalam jaringan internet pada tahun 1994 dalam bentuk pisang tiga dimensi yang oleh para penciptanya, Toni Parisi, Mark Pesce, dan Gavin Bell, diberi nama Labyrinth. Seorang pemakai yang menghubungkan komputernya dengan jaringan internet bisa terbang memasuki ruang tiga dimensi dari pisang tersebut, dan bermain-main di dalamnya. Dengan cara seperti itu, yang tampak jelas adalah upaya bagaimana meraih bentuk-bentuk pengalaman baru yang mustahil didapat dalam realitas aktual. Apa yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang tidak ada menjadi ada. Saat ini, beberapa game baik yang tradisional maupun yang telah menggunakan teknologi virtual, bisa dimainkan bersama-sama oleh beberapa orang yang bahkan berasal dari benua yang berbeda melalui internet. Bukan lagi sekedar buah pisang, tapi sebuah musium, kota bahkan peradaban virtual telah diciptakan untuk dimasuki dan diperkaya atau dirusak sama sekali dan diganti yang baru.

Kalau proses kita membayangkan sebuah komunitas bersama yang dibatasi oleh wilayah teritorial dan pengandaian kita tentang sejarah tertentu yang dianggap sama, meminjam kerangka Anderson (1991) secara semena-mena, akan menghasilkan satu rasa tersatukan sebagai bangsa, misalnya, pada dasarnya apa yang kita tunjuk dengan term bangsa akhirnya tidak lebih dari sejumlah pengandaian, angan-angan, impian, dan karena itu semu belaka.

Semu sebab antara saya dengan saudara kita di Wamena sama sekali tidak diikat oleh garis apa pun selain oleh adanya pengandaian tentang sebuah nasib yang lebih-kurang sama. Pembayangan tentang sebuah sejarah yang disamakan: bangsa. Akan tetapi adakah dengan itu berarti bahwa jalinan persaudaraan tersebut menjadi tidak real? Pembentukan kerangka imajiner untuk terus mempertahankan dan menerjemahkan "bayangan" atau khayalan kita itu di antaranya adalah dengan pendirian negara. Melalui cara ini mulai terbukalah sebuah ruang dalam apa bermacam-macam wacana diselenggarakan sehingga keberadaan negara menjadi semakin jelas.

Tapi negara menjadi realitas yang seolah aktual karena ia memiliki daya dukung aparatus untuk mengoperasikannya, menjadi jalin-jalinan relasi kesalingterhubungan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kita bisa melihat bagaimana bayangan orang-orang Israel tentang bangsanya, itu telah mendorong mereka untuk mewujudkan hal semu lainnya berupa berdirinya negara Israel. Di luar itu, pernahkah kita mendapati kehadiran negara sebagai fakta aktual bukan semata serangkaian operasi yang dipraktikkan dan dibahasakan setiap hari sehingga menjadi realitas yang langsung berhadapan dengan kita? Seorang nelayan di Batam atau profesor ilmu politik di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, tak satu pun yang pernah berhadapan langsung dengan negara sebagai realitas fisikal, melainkan dengan pelbagai wacana dan struktur yang menghadirkannya. Negara dan bangsa adalah contoh termudah untuk melihat bagaimana sesuatu yang pada dasarnya tidak real, kemudian diperlakukan sebagai kenyataan empiris nyaris tanpa bantahan. Kita seperti menerima itu sebagai sesuatu yang ada secara terberi. Padahal ia tidak lebih dari sebuah konsep, fiksi, yang diwujudkan oleh upaya-upaya konkret menerjemahkan atau melangsungkan apa yang kita bayangkan itu.

Negara adalah sebuah impian, kesemuan yang (dibayangkan) nyata, yang di dalamnya kita bisa terlibat secara interaktif dengan bukan hanya sesama warga dari komunitas khayali tadi, melainkan justru dengan kerangka imajinernya itu sendiri. Negara menjadi nyata karena kita masuk ke dalamnya, menjadi bagian darinya, mempengaruhi jalan sistemnya atau, kalau perlu, ramai-ramai menghancurkannya. Karena itu orang lantas bersikukuh meyakini demokrasi sebagai aturan main paling prospektif bagi penyelenggaraan bernegara. Sebab demokrasi, dalam pengertian idealnya, adalah satu mekanisme dengan apa kekuasaan dibagi di antara pelbagai kelompok yang bersaing mendapatkannya dan di antara juridiksi-juridiksi yang terpisah pula, sehingga negara relatif tidak terlampau koersif.

Negara--yang tampil konkret dalam bentuk aparat pemerintah--dalam demokrasi tidak lebih dari sebuah medium untuk mewujudkan bayangan tentang kegembiraan dan jungkir balik menjadi sebuah bangsa, tentang tersatukannya nasib dan sejarah. Sebab jika tidak, kita akan hanya tinggal mengenang prediksi pesimistis Hegel yang disepakati Weber, bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah talenan di atas apa kebahagiaan rakyat, kebajikan-kebajikan negara, dan keutamaan-keutamaan individu telah dan tengah terus dikorbankan (Stace, 1955; Collins and Makowsky, 1984: 130). Dengan ungkapan lain, negara, seperti halnya asosiasi konseptual kita tentang masyarakat atau bangsa, menjadi sebuah ruang tiga dimensi di dalam sebuah ruang dunia yang nyata. Negara, masyarakat dan bangsa adalah bayangan atau kesemuan-kesemuan yang real, software yang telah berubah menjadi hardware.

Kalau obsesi penyatuan diri warga negara sebagai bangsa diperantarai oleh semacam, meminjam bahasa dunia komputer, "interface" yang meliputi masyarakat, negara,--dengan ungkapan lain, pelbagai wacana dan tindakan—maka individu adalah satu-satunya realitas aktual dan fisikal yang berinteraksi dengan semua itu sehingga bisa masuk ke dalam sebuah komunitas (semu) yang dibayangkannya tadi. Menjadi warga sebuah negara, sebuah masyarakat, aparat pemerintah, menciptakan wacana pembangunan, berdemonstrasi dan lain-lain adalah cara-cara kita berinteraksi, menghubungkan diri satu sama lain dengan bayangan kita bersama tentang sebuah bangsa. Tapi kita tidak pernah bisa berinteraksi langsung dengannya. Kita hanya bisa melihat hasil dari interaksi yang kita lakukan itu pada sebuah layar besar yang kita sebut realitas bernegara-bangsa. Relasi antramuka tersebut idealnya tidaklah menempatkan negara sebagai kekuatan dominan yang koersif hanya karena ia menyerap seluruh sumberdaya (melalui pajak dan pembangunan) dan kekuasaan yang ada, lengkap dengan kekuatan penghancur dalam bentuk tentara, melainkan justru sebagai penentu bagaimana interaksi yang begitu rumit, kesalingterhubungan antarsemua komponen pembentuknya tadi menghasilkan tampilan realitas sebuah bangsa ke mana setiap individu bisa masuk dan hidup di dalamnya.

Relasi antarmuka menjadi berantakan ketika negara (baca: pemerintah) menggunakan kekuasaannya secara mutlak untuk bukan hanya mendeterminasi wacana dan tindakan warganya secara total, tapi juga meletakkan dirinya di atas dan melakukan habituasi terhadap setiap individu sehingga, pada gilirannya, komunikasi antarberbagai wacana dan tindakan tadi terputus karenanya. Keterputusan komunikasi (politk) inilah yang memungkas harapan individu akan hadirnya sebuah bangsa yang dibayangkannya, sebab yang tampil ke permukaan melulu negara. Proses interaksi, interkomunikasi antarwarga yang terkooptasi oleh satu kekuatan dominan, memungkinkan kekuatan dominan itu untuk menciptakan bahasa-bahasa sekaligus interpretasi baru tentang bangsa.

Melalui proses tersebut, segala hal terus-menerus akan didefinisikan kembali sehingga aparat negara berhasil mengimposisikan pemahaman konseptual tentang dirinya di atas pemahaman individu tentang sebuah bangsa. Hasilnya bisa kita lihat dalam bentuk simplifikasi yang sertamerta mengidentikkan negara, bangsa dan pemerintah sebagai entitas-entitas yang sama dan sebangun. Dalam wacana dunia komputer, inkompatibilitas antar perangkat seperti ini akan menghancurkan harapan pemakainya akan tampilnya ruang dan waktu tiga dimensi realitas-realitas virtual. Dalam realitas sosial politik negara-bangsa, pengidentifikasian sebuah negara, sebuah bangsa menjadi sebuah pemerintahan yang berkuasa, itu akan mencampakkan sekian banyak itikad baik individu untuk menghidupkan sebuah bangsa. Dalam negara semacam itu konsep bangsa menjadi seperti sebuah cerita fiksi atau film tradisional yang belum menggunakan teknologi realitas virtual: Hanya untuk dilihat, hanya untuk didengar. Tidak untuk dialami.

Pada term bangsa juga melekat bayangan tentang pisau yang membelah atau memisahkan kita dari bangsa yang lain. Sekarang pemisah-pemisah itu semakin kabur, terutama karena keyakinan bahwa bukan hanya "kepak sayap kupu-kupu di Cina bisa menimbulkan badai tropis di New York", tapi juga "setiap geliat perempuan di sebuah ruang pemotretan di Paris bisa merangsang orgasme massal pelajar SMA di Jawa Barat". Bahwa informasi-informasi mutakhir tentang Timor Timur justru lebih cepat didapat dari London, bukan Jakarta. Bahwa saudara terdekat tidak lagi musti berarti tetangga yang paling rapat dalam ruang sebuah desa, melainkan gerombolan citra sejagat dalam layar kotak sebuah monitor (entah TV atau komputer), yang kita bawa masuk ke dalam spasi paling pribadi, pada dinding-dinding yang paling rahasia tapi sekaligus sangat terbuka untuk dimasuki siapa, dari mana dan kapan saja. Ini artinya, wilayah pribadi dan identitas seseorang sekarang telah menjadi lahan lapang untuk dimasuki dan memasuki, menggangu dan diganggu, dikasihi dan mengasihi, memainkan dan dimainkan (Turkle 1996), dipecah-pecah, datang-pergi dari dan ke segala arah secara nyaris tak terbatas seperti konsep jendela dalam semua sistem operasi komputer modern (Rodata, 1996).

Sejak perusahaan Sun MicroSystems berhasil meyakinkan para pemakai bahwa "komputer adalah jaringan dan jaringan adalah komputer", sehingga orang tidak bisa mengerti sepenuhnya tentang manfaat sebuah komputer kecuali jika ia telah memasuki jaringan kerjasama antar komputer sejagat, maka pada saat itu pula mulai tercipta pelbagai komunitas khayali yang baru. Pelbagai masyarakat, bermacam-macam jaringan rumit beragam interaksi antar anggota-anggotanya telah lahir dalam ruang baru yang disebut datasphere. Sebuah komputer, sebuah mesin yang dianggap paling cerdas, seperti halnya seorang individu paling jenius yang terisolasi secara mutlak dari lingkungannya, akan menjadi begitu dungu jika tidak berinteraksi dengan sesamanya sedunia dalam jaringan. Di lain pihak, diusulkannya Virtual Reality Modeling Language (VRML) sebagai semacam bahasa standar dalam World Wide Web oleh Tim Berners-Lee dan David Ragget pada tahun 1994 untuk menyempurnakan standar format Hypertext Markup Language (HTML)--yang hanya bisa menampilkan informasi teks dan gambar dua dimensi--, akan meratakan jalan ke arah terbentuknya dunia-dunia salinan yang bisa dimasuki oleh pengguna komputer di mana pun.

Maka para Bapak Pendiri masyarakat-masyarakat baru yang akan dikenang di masa depan jelas bukan lagi George Washington, Jefferson, Churchil, Soekarno atau Gandhi, tapi Scott McNealy, Steve Jobs, Wozniak, Marc Andreesen dan Bill Gates. Tak satu pun dari mereka yang merasa perlu menjadi pemimpin militer untuk berkuasa. Tidak Steve Jobs tidak pula Bill Gates yang menganggap perlunya gerombolan rakyat yang menyerukan namanya di tanah-tanah lapang sambil mengepalkan tangan. Bukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, MEE atau Non-Blok melainkan generasi-generasi baru keturunan America Online atau Microsoft Internet Explorer. Ini bukan hanya akan mengakibatkan berlangsungnya reevaluasi dan reorientasi pada beberapa perusahaan yang selama ini bergerak dalam jasa pelayanan migrasi penduduk dari satu negara ke negara lain seperti pabrik pesawat terbang komersial, misalnya, melainkan juga akan (atau bahkan telah) mendorong munculnya krisis legitimasi pada institusi-intitusi sosial yang ada (keluarga, masyarakat, perkawinan dst). Migrasi fisik yang demikian lambat telah digeser oleh migrasi kesadaran dengan kecepatan yang secara radikal jauh lebih cepat (keduanya bertujuan pada perengkuhan pengalaman). Di lain pihak, karena konsep bangsa selama ini telah mendudukkan komunitas-komunitas lain sebagai satuan subordinan, maka situs-situs web yang menampilkan aliran, sekte, etnis, atau kecenderungan-kecenderungan primordialis lainnya akan deras bermunculan seperti arus air bah yang membobol tanggul-tanggul pembatasnya. Semua berenang pada lautan luas yang sama, samudra harapan dan kekecewaan, janji dan ancaman, hamparan segala kemungkinan.

Ketika sebuah bangsa tidak lagi mengenal tapal batas, ia menjadi semakin besar tapi sekaligus juga memudar. Hanya dengan sebuah komputer pribadi, komunitas yang dibayangkan oleh setiap individu bergerak ke tingkat yang semakin rumit tapi sewaktu-waktu juga bisa susut demikian sempit. Dalam konteks seperti ini, bukan hanya dominasi negara dan pemerintahnya menjadi semakin terkesan anakronis tapi juga bayangan setiap orang tentang sebuah bangsa menjadi tak lagi punya cukup alasan untuk bertahan. Sebab sebuah bangsa bisa hadir hanya jika ada jarak yang memisahkan satu komunitas khayali dengan komunitas khayali lainnya. Dan kita tahu bahwa identifikasi sebuah bangsa pertama-tama dilakukan dengan cara membedakan dirinya dari komunitas khayali yang dihidupi orang lain, sehingga kehadirannya bisa dipahami hanya dalam konteks ditemukannya secara radikal apa yang "lain selain dirinya" (other than itself).

Proses perjumpaan kita dengan realitas-realitas di dunia baru yang dihasilkan dari perkembangan teknologi virtual tadi, pada gilirannya boleh jadi juga akan mendorong kita untuk menerimanya menjadi realitas yang sebenarnya. Dengan ungkapan lain, apa yang sampai kini masih kita sebut realitas virtual dalam waktu dekat akan segera menjadi virtualitas yang diaktualkan, yang bahkan lebih nyata ketimbang masyarakat, negara dan bangsa. Dalam dunia semacam itulah pelbagai obsesi yang paling muskil akan mendapatkan peluang untuk diterjemahkan secara teknis. Batas antara yang aktual dan yang virtual menjadi semakin tipis bahkan lenyap. Pertama, karena titik acuan esensi realitas sekarang telah berubah secara radikal akibat berlangsungnya substitusi kehidupan nyata oleh kehidupan virtual. Untuk sebagian orang, kehidupan virtual bahkan sudah dianggap sebagai hal yang nyata, realitas kedua, bukan lagi sesuatu yang bersifat eksternal berhadapan dengan realitas aktual.

Kedua, karena aturan-aturan interaksi sosial pada dasarnya adalah hasil konstruksi (socially constructed) , bukan yang diterima begitu saja, maka interaksi kita dengan realitas virtual juga akan meratakan jalan ke arah konstruksi pelbagai aturan interaksi sosial dan wacana-wacana baru. Wacana kebudayaan manusia, misalnya, akhirnya tidak lagi hanya bisa dipahami sebagai proses pengadaan substitusi dari hal-hal yang, seperti keyakinan Gehlen yang diamini Berger, secara organismik menolak kita, melainkan juga bagaimana bermacam-macam perluasan dimungkinkan untuk melintasi pelbagai batasan, sehingga manusia bukan hanya sanggup mengatasi alam melainkan juga sanggup mengatasi dan keluar dari dunia-kehidupan yang telah dibangunnya, dan lantas masuk ke dalam orbit baru yang kita ciptakan melalui perpaduan sirkuit-sirkuit elektronik, piranti lunak, fantasi dan imajinasi kita yang paling sulit.




Ketika sekian banyak impian telah diwujudkan, pelbagai hal dicipta ulang menjadi kenyataan-kenyataan virtual, masih adakah kewenangan pada kita untuk tetap memelihara batas antara yang aktual dengan yang virtual atau, secara lebih radikal, antara sebuah komputer dengan sebuah negara, sebuah bangsa dengan sebuah produk teknologi virtual interaktif tiga dimensi? Keduanya sama-sama cepat menjadi usang. Bedanya boleh jadi memang cuma dalam satu hal: ketika negara-bangsa makin luruh, sekian banyak kekuasaan korup akan jatuh bergemuruh, tapi ketika sebuah komputer atau produk teknologi virtual menguap, anak-anak kita bisa segera menciptakan yang baru sambil ngomel atau tertawa. Sama sekali tak ada alasan untuk mencemaskan mereka.

Yogyakarta, 16 April 1997
Hikmat Budiman