Di Balik Sebuah Perang Suci

Sosiologi, Teknologi


Share


“Blog

Empat sistem operasi komputer personal, Mac OS, DOS, OS2/Warp, dan Windows 9x saling berlomba merebut kesetiaan konsumen. Apa sebenarnya fungsi terpenting dari sebuah sistem operasi pada sebuah komputer? Mengapa begitu banyak orang membelanjakan uangnya untuk sekumpulan kode-kode program yang tak sepenuhnya bisa mereka pahami? Mengapa sekian banyak perusahaan mau menanamkan modalnya hanya untuk sebuah produk perangkat lunak? Mengapa Netscape, IBM, Apple, dan Oracle begitu sengit melihat dominasi Windows?

Jawabannya tidak hanya soal keuntungan finansial belaka. Windows 9x boleh jadi sama sekali tidak pernah saya gunakan untuk kegiatan produktif, melainkan semata karena takut ketinggalan perkembangan games komputer. Anda boleh jadi membelinya karena ingin pekerjaan Anda menjadi mudah. Para pemakai Macintosh mencoba Windows, mungkin karena ia jengkel dengan lambannya perkembangan software Macintosh. Golkar, PDI, PPP atau Golput memilihnya barangkali karena alasan kemudahan koneksi internet.



Seorang teoritisi sosial terkemuka, ahli semiotik, esais, sejarawan sekaligus novelis Italia termashur, Umberto Eco, pernah membuat sebuah amsal yang sangat unik tentang kultur para pemakai komputer dilihat dari masing-masing platform sistem operasi yang digunakannya. Dari sana mungkin kita bisa sejenak menengok hal lain di balik kerumitan kode-kode teknis program komputer dan soal uang.

Bagi Eco, komputer adalah salah satu instrumen penting yang turut terlibat dalam transformasi dunia modern. Pada level personal, sejak sekitar dua dekade yang silam, seperti kita tahu, pemakai komputer di dunia terbelah menjadi dua kubu yang sulit berdamai: pemakai Macintosh dan pemakai DOS. Garis demarkasi ini begitu tegas, karena dua sistem operasi tersebut seolah telah menjadi ideologi bagi masing-masing pemakainya.

Macintosh, kata Eco, sifatnya cenderung anti-reformis tapi berhasil membuat pemakainya memiliki rasa tersatukan sebagai umat yang taat. Ia, dalam bahasa Eco, seperti agama Katolik dan para penganutnya. Macintosh sangat ramah, menggembirakan, lucu, bersahabat, dan ia bahkan akan mengajari para penganutnya langkah demi langkah untuk mencapai—kalau bukan kerjaan syurga—sebuah momen ketika dokumennya berhasil dicetak. Dengan kalimat lain, Eco melihat Macintosh bersifat sangat unik. Karena esensi dari bahasa rumit program komputer bisa dipahami oleh pemakainya melalui sebuah formula cerdas. Dalam lingkungan sistem operasi ini setiap orang memiliki hak yang sama untuk bebas dari kerumitan.

Di lain pihak, DOS justru sangat reformis dan, kembali pada analogi agama tadi, karena itu menurut Eco ia jauh lebih menyerupai Protestan. Ia memberi kebebasan kepada pemakainya untuk menafsirkan semua program tapi juga menuntut putusan—putusan personal yang sulit untuk mengoperasikannya. Agar sistemnya bekerja, Anda harus menginterpretasikan sendiri kode-kode rumit bahasa komputer. Jadi berbeda dengan para pemakai Mac yang riang tanpa kesulitan teknis, pemakai DOS, kata Eco, demi reformasi justru sangat akrab dengan kesunyian dari perihlukanya sendiri. Seorang karib saya, pemakai DOS, dengan antusias berkata: “di balik layar gelap dan tulisan putih ini”, katanya bersemangat, “terhampar kebebasan untuk berbuat apa saja”.

Tapi inilah soalnya, sehebat apa pun komputer dikembangkan, ia bukan lain kecuali perkakas teknis. Seluas apa pun kebebasan diberikan dalam sistem operasi DOS, makin lama makin berkurang orang yang bisa tahan dengan kerumitan kode-kode teknis. DOS laku nyatanya bukan karena ia reformis, melainkan karena ia bisa dipasang pada kotak-kotak murah. Sementara makin lama orang-orang juga makin tidak lagi merasa perlu untuk tahu bagaimana komputer bekerja, melainkan bagaimana mereka bisa menyelesaikan pekerjaan dibantu komputer. Maka, pergeseran terjadi ketika Microsoft, mengikuti Apple Computer, mulai memperkenalkan Windows. Di mata Eco, dengan perpindahan tersebut, semesta DOS akhirnya semakin mendekati sifat-sifat anti-reformis yang dianut Macintosh. Bedanya, senantiasa ada kemungkinan untuk sewaktu-waktu kembali ke DOS untuk melakukan reformasi.

Eco menulis kisah tentang “perang suci” tadi sekitar tahun 1994, setahun sebelum seluruh dunia diguncang oleh pemasaran Windows 95 yang jauh makin mirip Macintosh. Ketika itu, Macintosh sedang berada pada salah satu puncak suksesnya di pasaran Amerika, dan internet belum menjadi keharusan. Waktu itu sistem operasi komputer memang masih merupakan raja yang paling menentukan seluruh pengalaman pemakaian komputer.

Tapi tentu saja seluruh analogi Eco tak perlu benar-benar kita amini. Banyak hal dalam uraiannya yang terkesan tidak serius, dan tidak memiliki dukungan faktual yang kuat. Walau bagaiman ia, seperti halnya penulis lain, hanya sedang berusaha agar tulisannya sedikit punya jiwa dan, kalau bisa, membuat orang lain sedikit penasaran. Dan memang itulah gaya menulisnya yang disukai banyak orang. Setahu saya, sampai Februari 1995 yang lalu, di kantornya yang mungil, di Institute for Communication Studies, Universitas Bologna, ia memakai clone IBM 486 dengan Windows 3.1.1.

Saya sendiri cenderung melihat pertempuran tadi sekarang sudah makin tidak relevan. Yang tinggal hanya usaha keras dan sulit justru untuk memudahkan pemakai. Tidak jelas betul siapa yang menjadi pemenang, sebab bukan hanya pemakai DOS yang berbondong-bondong bermigrasi ke Windows, yang nota bene tiruan Macintosh, tapi juga karena sekarang mulai ada pemakai Mac yang memasang dua sistem operasi tersebut sekaligus dalam sebuah mesin PowerMac yang ditancapi DOSCard.

Kalau pun beberapa gagasan Eco di atas benar, ia hanya berlaku temporer belaka. Yakni ketika dunia komputasi modern berkeras mendirikan kastil-kastil dengan sistem operasi sebagai penguasa tunggalnya. Ketika itu orang percaya bahwa makna komputer pertama-tama ditentukan oleh jenis sistem operasi yang menjalankannya. Komputer kemudian seolah merepresentasikan hasrat pada kekuasaan yang sebenarnya: kombinasi antara kekuatan dan kecepatan yang hebat. Persis seperti watak Megalomania orang-orang modern.

Tapi sejak Scott McNeally cukup berhasil meyakinkan kita bahwa “komputer adalah jaringan”, cepat dan pasti kekuasaan sistem-sistem operasi itu mulai pudar. Gagasan McNally seolah menyadarkan kita bahwa pada akhirnya komputer juga berhasil melewati zaman modern dan masuk ke dalam zaman postmodern. Komputer-komputer masa depan dibuat dengan rancangan yang terus-menerus mendekati kenyataan sosial. Bahwa seperti halnya seorang manusia jenius yang mutlak terisolir dari lingkungannya hanya akan menjadi individu yang lumpuh secara sosial, sebuah komputer hanya akan benar-benar memberi manfaat terbaik jika ia terkoneksi ke dalam jaringan-jaringan pergaulan antarkomputer sedunia: internet.

Internet secara radikal memang telah mengubah peta dunia komputer mutakhir. Ia bukan hanya menggusur dominasi sistem operasi, melainkan, lebih dari itu, juga melahirkan pembalikan kebutuhan akan komputer. Gagasan seperti Network Computer (NC) adalah bukti awal dari pembalikan itu: yang dibutuhkan orang banyak bukanlah mesin-mesin perkasa tapi hanya bisa bekerja sendirian, melainkan mesin-mesin yang bisa bekerja bersama dengan mesin lainnya, tanpa memandang jenis sistem operasinya, meskipun ia hanya berupa sekumpulan komponen elektronik yang sederhana dan murah.

Sekarang kita hidup dalam sebuah era ketika orang-orang besar dan hebat telah lama dikuburkan. Penulisan sejarah telah dimulai dalam cara baru: bahwa dunia menjadi lebih baik bukan karena segelintir orang besar yang berbuat baik, melainkan oleh relasi yang rumit kerjasama antar sesama manusia. Pretensi kebesaran kini hanya akan bertemu cemooh, dianggap tidak realistis dan boros. Di dunia komputer, Macintosh adalah contoh pertama ketika ambisi menjadi yang terhebat hanya menghasilkan salam perpisahan dari banyak pengguna setianya.

Karena itu, upaya Microsoft untuk mengintegrasikan Internet Explorer 4 dengan Windows 95 dalam Memphis jadi terkesan anakronis. Bukan hanya karena ia masih berkutat dengan upaya merangsang minat orang pada komputer-komputer hebat, melainkan juga karena ia ternyata belum bosan menganjurkan pemborosan dengan iming-iming kemudahan.


Eco memang keliru dalam banyak hal.


Majalah InfoKomputer Internet Vol. II. No.3, Maret 1998.