Empat Huruf yang Menyakitkan

Catatan tahun 1992



Share

“Blog

Pernahkah Sang Budha atau orang suci lainnya terbahak? Atau adakah mereka orang yang senantiasa tampil tegar, sedikit senyum, serius melulu menyuntuki nasib dunia—seperti dokter memeriksa preparat melalui mikroskop? Kita tak persis tahu jawabannya. Karena pekabaran yang kita tangkap tentu tak demikian lengkap. Kita hanya sanggup mencegat kesan, yang itu pun kadang seperti bunglon. Semakin ngotot kita meyakini salah satu warnanya, semakain kelirulah kesimpulan kita. Yang pasti, dalam hidup ini ada banyak wilayah yang seakan enggan bersinggungan dengan gelak tawa. Kaku, sepi dan dingin seperti tembok rumah bekas Belanda. Ia cenderung menghindar dari ketawa yang lepas. Sebab hanya dalam sunyi ada keheningan untuk merapatkan rasa, sedangkan ketawa sering diidentikkan dengan nafsu. Dan nafsu itu dari syetan, perusuh setiap itikad baik yang serius.

Di dunia ini memang cukup luas terhampar areal-areal kepekaan psikologis dan kultural. Yakni, meminjam Geertz dalamThe Interpretation of Culture, semacam logico-meaningful, yang mengikat sejumlah orang ke dalam satu alam pikiran yang lebih kurang sama, membentuk jalinan-jalinan makna yang dibagi bersama dan yang membuat hidup lebih punya arti. Ikatan semacam ini jarang memiliki tradisi refleksi-diri (self-reflection), sehingga cenderung bersifat ideologis. Karena itu, jalin-jalinan makna itu sekaligus juga menjadi garis pemisah tegas dengan “yang lain”, yang lantas sering dikategorikan sebagai “musuh”. Ratusan tahun lewat dan masih cukup banyak orang melakukan preokupasi dengan proses identifikasi semacam itu, seolah tidak ada hal lebih penting dalam hidup selain menetapkan siapa kawan siapa lawan. Tiang-tiang Hercules perbatasan emosi didirikan dengan kukuh, atas nama kepercayaan pada kebenaran yang dianggap miliknya sendiri.

Tahun 1971, Morton H. Fried memasarkan kegusarannya pada kondisi praktik-praktik rasisme di Amerika Serikat (AS) dalam esainya, A Four-Letter Word that Hurts. Di dalamnya ia seperti sedang meratapi sebuah adab dunia, di Amerika Serikat terutama, yang tengah mengerang ditikam empat huruf yang begitu menyakitkan: “race” (dalam bahasa Indonesia berarti “ras”). Kita, di sini, sampai hari ini, juga mengenal susunan empat huruf yang membingungkan sekaligus menakutkan: SARA. Konkretnya ia bisa berupa etnis, agama, ras, golongan, aliran dan sejenis itu. Manusia yang konon satu Adam satu Hawa (bahkan satu Tuhan) berberai seperti anai-anai diterpa badai.

Areal-areal kepekaan itu laksana lumpur maut, siap menghisap masuk korbannya setiap saat tanpa pertanda yang tegas. Sekali melanggar sesudah itu berarti mati atau, paling tidak, diadili. Sebab bahkan darah dan kematian jadi semacam harga lumrah ketika batas-batas demarkasi emosi tadi dilangkahi.

Dalam Bhagawadgita kita tahu bagaimana ksatria Harjuna terpuruk, luruh seluruh nafsu tempurnya. Ia ngungun, gelisah persis di tengah-tengah dua pasukan yang sudah siap saling membinasakan di Kurukshetra. Di samping Sri Krishna yang gilang-gemilang itu, ia meluapkan bukan amarah tapi rasa bingungnya yang tidak putus-putus. “Mulutku kelu dan lidahku seperti terbakar wahai Govinda,” keluh Harjuna. Ia tidak sampai hati mengerahkan daya pengrusaknya untuk melumat segenap rakyat dan kerabatnya sendiri, Kurawa. Bukan karena peperangan itu sia-sia di matanya. Bukan pula karena di seberang sana ada kakek Bhisma dan guru Druna, dua manusia yang teramat dalam dihormati dan dicintainya. Tali-tali busurnya memang seperti mengabarkan kenang-kenangan akan buaian di masa kecil setiap kali Harjuna mencoba mengarahkan bidikan pada mereka. Tapi salah satu pangkal kegelisahan Harjuna hari itu, kita tahu, adalah ketidaksanggupannya memahami untuk apa dan demi siapa sebenarnya perang itu harus dilakukan, dan mengapa harus ada beda di antara sesama manusia.

Krishna, sang sais kereta, menghamburkan ribuan kalimat untuk membantu mengurai satu per satu kebingungan iparnya itu. Dan pada akhirnya, ia meyakinkan Harjuna bahwa peperangan adalah bagian dari dharma, dan memang harus diteruskan karena mustahil (dan pantang) dihindari. Apalagi bagi diri Harjuna yang terlahir ke dalam kasta ksatria. Sebab perang, kata Krishna dengan ruam muka mengepam iba sekaligus jengkel, adalah bagian dari proses tarik-tolak antara cita-cita mulia dan nafsu yang menjustainya. Menghindarinya terus-menerus bukan hanya berarti pengecut, tapi juga sama dengan mengabaikan dharma seorang ksatria dan keharusan sejarah. Mungkin Hegel memang benar, bahwa “history is a chopping-block at which the happiness of peoples, the wisdom of the states, and the virtue of individuals have been victimized”. Hari itu Harjuna adalah agen sejarah di tangan Krishna.

Tapi persoalan kita hari ini bukan terletak di situ. Pertanyaan yang terus mengganggu kita dewasa ini adalah, masihkan kita menghargai jeda waktu untuk sekedar merenung dan membuka diri bagi setiap tilikan, sebelum sampai pada keputusan berangkat perang. Artinya, masih bisakah kita menghormati dialog yang jujur sebelum senapan dikokang atau palu peradilan diketokkan. Apalagi karena SARA pada dasarnya ibarat sekam yang menyembunyikan bara yang sesungguhnya. Bara dari api kesumat dan rasa kecewa yang kian hari kian bertambah besar. Kita sekarang hidup dalam kepekatan murka di segala soal, tanpa pernah benar-benar yakin dalam menentukan pilihan jalan keluar. Ini tentu saja adalah gambaran dari sebuah biografi sebangsa, sebuah entitas malang yang anggota-anggotanya telah terlampau lama menutup diri terhadap kritik dan seratus persen mentabukan konflik.

Kita kini hidup di pasar yang termat sibuk, yang menjual kemarahan sebagai solusi kebuntuan saluran aspirasi. Kita seperti kerumunan yang gopoh mencari setiap peluang untuk meledakkan diri sendiri oleh murka. Hidup seperti tak putus dirundung purbasangka bahkan kepada kerabat sendiri. Lantas apa yang didapat dari setiap kemurkaan yang ramai diteriakkan itu? Mungkin harga diri kelompok yang hendak dinaikkan nilai tukarnya. Tapi mungkin pula justru kekerasan dan keresahan yang makin berlarut dan tambah ruwet. Padahal tidak pernah ada Krishna di sebelah kita hari-hari ini.


Sagan, 6 Juni 1992 dinihari.

Pernah dimuat pada salah satu edisi SWARA, tabloid yang dikelola Keluarga Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Seingat saya tulisan ini dibuat sebagai semacam komentar untuk kasus dipenjaranya dua orang mahasiswa UGM, Moko, mahasiswa Fakultas Sastra, dan Bambang Gundul, mahasiswa Fisipol, yang dituduh melakukan penodaan terhadap agama Islam

.