Demokrasi Komikal

Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.

“Blog

Revolusi memakan anaknya sendiri. Tapi dalam kasus yang tengah menimpa Gus Dur, sebagian orang mungkin akan mengatakan “demokrasi tengah memangsa pendekarnya sendiri”. Sebutan “pendekar demokrasi” tentu saja didasarkan pada track-record aktivitas Wahid sebelum ia jadi presiden: Orang tahu bahwa dibanding tokoh-tokoh lain, Wahid adalah sosok yang lebih berakar pada gerakan-gerakan pro demokrasi vis a vis otoriterianisme Orde Baru waktu itu.


Di sisi yang lain, orang dengan seenaknya menyebut anggota parlemen penentang Wahid sebagai “cowboy parlemen”: orang-orang yang out of nowhere, tapi bernyali besar menentang kekuasaan. Sebutan itu jadi konkret ketika di antara mereka bahkan ada yang melengkapi dirinya dengan senjata api atau rompi anti peluru. Kasihan!

Entah bagaimana, bayangan kita tentang demokrasi mungkin memang dibentuk dari wacana yang sejak kecil ditumpukkan di kepala: kisah-kisah tentang para pendekar pembela kebenaran dalam cerita-cerita komik silat dan superhero. Karena itu demokrasi kemudian jadi berkesan sangat komikal: sebuah arena yang menggelikan, tidak masuk akal. Ia jadi sebuah ruang pertempuran, tempat orang saling menghantam beradu jurus dan menebas untuk menang seperti jagoan dalam komik-komik silat itu.

Demokrasi, dalam konteks semacam itu, jadi sebuah wacana tentang kutub dan antipoda kekerasan dalam dunia politik masyarakat sipil. Ia jadi cerita bersambung tentang adu kekuatan antara para Jango dan Wiro Sableng. Padahal alih-alih kompatibel dengan demokrasi, sosok pendekar dan cowboy justru tipikal anarkis bahkan antinomianis.

Hak-hak konstitusional yang secara inheren mereka miliki, misalnya, tidak dipakai untuk menopang kehidupan politik sipil, melainkan untuk saling mengancam satu sama lain. Bukan untuk mengupayakan kemaslahatan orang banyak, tapi untuk saling mematikan. Ancaman Sidang Istimewa dilawan ancaman Dekrit Presiden. Impeachment dihadapi ancaman pembubaran parlemen.

Lantas kapan mereka beranjak dewasa dan beradab?

Jakarta, 27 Mei 2001