Kalau sebuah karya intelektual dibakar, yang dilalap api tentu bukan hanya kerja keras penulisnya, melainkan juga kehormatan seluruh kepala manusia yang punya otak waras. Ketika belakangan beberapa orang membakar buku-buku kiri, buruk rupa peradaban kita pun semakin memalukan.
Apa yang menarik di balik pembakaran buku-buku yang, tanpa penyelidikan nalar sehat sama sekali, dikategorikan kiri? Apa yang membuat orang demikian takut? Semua orang yang berpikir tahu bahwa komunisme telah bankrut, maka kalau “kiri” kemudian diasosiasikan dengan “komunis”, yang ditakutkan orang-orang itu pada dasarnya tidak lebih dari sekedar hantu: Tidak pernah benar-benar bisa dibuktikan ada, tapi sanggup menghadirkan kengerian luar biasa.
Beberapa agama diturunkan ke bumi untuk menerangi pikiran manusia agar tidak lagi percaya pada takhyul, tapi itu semua tidak cukup kuat untuk mengusir rasa takut akan hantu. Di Indonesia, untuk konteks ini, agama justru jadi dalih yang membenarkan sikap penakut sebagian orang yang, anehnya, paling minta dianggap berani. Mereka berteriak di mana-mana, tapi itu teriakan dari nyali yang kisut, hati gentar dan iman yang tidak teguh. Penakut. Nyali curut. Apa bisa diperbuat sebuah bangsa yang hidup dicekam rasa takut pada hal-hal yang secara empirik tidak ada?
Di zaman Soeharto kemarin, secara ideologis sebagain cukup besar rakyat kita hidup dengan ketakutan mitis akan (hantu) komunisme. Ketakutan ini tertanam begitu kuat, dan beranak-pinak di mana-mana. Ia sengaja diciptakan agar membuat tahta dapat selalu terpelihara. Maka kemudian kita adalah sebuah komunitas besar yang sering memulai segala sesuatu tidak dengan harapan melainkan dengan rasa takut. Hasilnya adalah sebuah kerumunan jutaan orang yang kapasitas mental dan intelektualnya tidak pernah berkembang. Karena itulah, rezim sebodoh Orde Baru bisa bertahan puluhan tahun.
Kita patut kasihan pada mereka yang masih keranjingan nafsu membakar. Mereka adalah orang-orang yang terlalu dalam dicekam ketakutan. Selalu kabur dari kenyataan tapi sekaligus takaburnya minta ampun. Bukan hanya pada komunisme, melainkan juga pada hidup itu sendiri. Mungkin ada baiknya kita mengenang kalimat Roosevelt ketika ia memulai New Deal Amerika pada dekade 1930an: “the only thing that we have to fear is fear itself”.