Peneliti Junior Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Share
Masih ingat The Time Tunnel? Sekitar lima belas tahun "yang lain", film ini diputar TVRI setiap jum'at malam dengan rasa bangga. Ini adalah sebuah serial science fiction Amerika dengan segala congkak sekaligus kebaikan hatinya. Gagasannya secara lengkap terpresentasikan dalam judul yang diangkatnya: Terowongan Waktu. Lorong yang bisa mengantarkan manusia untuk menjangkau sejarah secara tak terbatas. Ia bisa mengirim kita ke masa ratusan tahun yang lain, dan melemparkan kita ke dalam pelbagai riwayat pada ruang, tempat dan waktu ketika itu, tapi dengan kesadaran saat ini. Kemarin dan hari ini tidak lagi menjadi kategori-kategori penting dalam pengalaman manusia. Waktu tidak lagi bisa dipahami sebagai satuan linear pada apa kita tak memiliki kesanggupan untuk mencegat lajunya.
Waktu menjadi tidak bergerak, yang bergerak hanya momen-momen kesadaran manusia yang terperangkap di dalamnya. Kesadaran yang meloncat-loncat kesulitan menemukan pasangan waktu dan ruangnya. Dengan terowongan waktu, asumsi linearitas sejarah mulai diguncangkan. Akibatnya, dimensi waktu menjadi terus membesar dalam ruang yang justru menciut dan telah takluk di bawah kontrol manusia. Terowongan waktu adalah cerita kesuksesan manusia menaklukan ruang dengan kecepatan sangat tinggi, sampai manusia sendiri kebingungan karena mendapatkan waktu yang tidak lagi terbatas dan tertampung ruang. Tapi dari lorong waktu itu pula kita bisa melihat obsesi lama manusia modern sejak gegap gempitanya rasionalitas Pencerahan di Eropa. Yakni lepas dari keterikatan pada segala batas. Karena itu pula, setelah menaklukkan ruang manusia jadi ingin mengalahkan waktu. Ingin hidup dalam sejarah yang tak berruang-berwaktu. Kekal. Maka mari kita ikuti kejujuran Spielberg, sambil mengkonsumsi moral yang lebih lembut.
Dalam Back to the Future, kehendak untuk melintasi segala ujung itu secara sangat cerdas, memikat dan menghibur, telah diwujudkan. Logika linearitas sejarah dibalik: "kembali ke masa depan". Konsepsi-konsepsi lama tentang masa lalu, kini dan esok dirontokkan. Ungkapan Spielberg tadi jelas tidak saja dimaksudkan sebagai attention-getter ekonomis dari sebuah produk industri film, melainkan juga berpretensi mengguncang keajegan sebuah cara berpikir konvensional tentang sejarah. Dengan kalimat lain, Spielberg juga tengah bercerita tentang salah satu puncak dari serangan atas konsepsi-konsepsi partikular rasionalitas tentang waktu dan ruang. Sebuah serangan terhadap konsep dan manifestasi dari metode berpikir dan tatanan rasional. Bahwa ketika modernitas dengan segala ambisinya atas petualangan tanpa akhir, berhasil menggandeng bersamanya suatu pertumbuhan sain dan teknologi serta industri yang mengagumkan, ia juga telah dengan gemilang melahirkan benih penentangan radikal terhadap tatanan rasional yang dibentuk dan dijadikan tujuan akhir andalannya.
Pemahaman orang tentang sejarah, waktu dan ruang, tentang masa silam, ini hari dan nanti hanya dimungkinkan oleh terciptanya sebuah persepsi tentang kosmos yang tertata. Setiap waktu (diandaikan) memiliki pasangan ruangnya sendiri, dapat dipahami secara logis dan tunduk pada prinsip-prinsip rasionalitas. Spielberg telah mengacaukan semua itu dengan mengubah garis lintasan waktu dalam ruang menjadi demikian centangperenang. Semerawut silangsengkaruk. Melebihi The Time Tunel, dalam Back to the Future, kronologi waktu tidak lagi memiliki keajegan. Semua direlatifkan. Hidup bisa juga bermula dari masa depan.
Hari ini, kemaren dan besok bukan lagi kemustahilan untuk dialami dalam gerak mundur, memutar, berbelok atau apa saja. Maka kita bisa kembali bukan hanya ke masa lalu tapi juga ke masa depan atau ke masa kini. Seperti kita juga bisa meninggalkan bukan hanya masa lalu menuju masa kini atau pergi dari masa kini ke masa depan secara berurutan, tapi bolak-balik: meninggalkan masa kini menuju masa lalu, meninggalkan masa depan menuju masa kini sebagai masa lalu atau masa lalu dari hitungan masa sekarang. Atau dari masa lalu langsung melompat ke masa depan untuk berakhir di masa kini. Semuanya bisa diacak untuk kepentingan petualangan manusia.
Perpindahan-perpindahan seperti itu, jelas membawa serta syarat perubahan kesadaran manusia dalam mengalami waktu dan ruangnya. Semuanya berlangsung serba serentak, karena proses manusia mengalami sejarah jadi tidak terikat oleh ruang melainkan justru masuk dalam pusaran-pusaran waktu. Gerakan mahacepat menaklukan ruang bukan hanya semakin mempersempit jarak spasial tapi mengaburkan konvensi-konvensi jarak temporal. Perangkat pemaknaan hidup kita bagai dinaikkan di atas sebuah tunggangan yang lebih cepat dari cahaya. Yang ingin dirangsangnya adalah sebuah keinsyafan baru, bahwa kronologi waktu hanyalah produk dari kesepakatan temporer belaka. Tengok saja bagaimana seorang polisi masa depan yang mengejar-ngejar penjahat dari abad ke abad sampai "tersesat" di tahun 1993 abad 20 dalam serial Time Trax di RCTI. Atau Stalone yang terus bertahan sampai masa ratusan tahun dalam The Demolition Man.
Mereka berhasil menyebarangi batas paling muskil yang selama ribuan tahun mengurung hasrat manusia untuk tiba pada seluruh dimensi pengalaman dan kehidupan. Apa yang dikenal sebagai hukum-hukum alam menjadi demikian lemah daya paksanya. Sebab pada dasarnya, semua itu tidak lebih dari penemuan atau hasil konsepsi pemikiran manusia. Seluruh hukum alam adalah sebentuk konklusi tentatif dan situasional dari serbaneka pengalaman perjumpaan manusia dengan dunia baik fisik maupun dunia kehidupan yang dibangunnya melalui kebudayaan. Yakni ketika manusia menemukan sebuah situasi yang memaksanya mundur dari pertarungannya melawan alam. Kekalahan menghadapi rintangan ini lantas diterjemahkan menjadi takdir (buruk) yang tak bisa dihindari.
Semula, dengan itu semua manusia ingin membuat semacam permakluman akan ketaksanggupannya mengatasi hambatan-hambatan alamiah: bahwa eksistensi dan pengalaman manusia dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh hidup dan kematian. Dengan kata lain, oleh keinsyafan manusia akan keterbatasannya. Tapi ternyata pengakuan seperti itu tidak final dan tidak berlangsung terus. Superioritas hukum alam vis à vis manusia satu persatu berhasil diatasi. Peradaban tidak lagi bisa dipahami sebagai produk kebudayaan, karena ia telah pula menjadi determinan bagi perubahan induk yang semula melahirkannya tadi. Aktivitas kerja membangun dunia kehidupan, yang oleh para antropolog disebut sebagai kebudayaan, itu tiba pada saat kapan ia sendiri harus menuntut penafsiran ulang.
Mengikuti logika karya-karya fantasi tadi, kita menemukan betapa dimensi waktu tidak lagi merupakan rentangan seri berurutan, tapi kesimpangsiuran, berjejer lebur atau saling meninggalkan. Waktu bukanlah susunan yang tertata rapi sebagai pencerminan dari hasrat manusia pada order, melainkan momen-momen yang bisa saja saling bertabrakan. Apa yang ingin disampaikan dengan cara seperti itu, tentu saja, adalah sebuah kesadaran baru bahwa bahkan kematian pun tidak lagi relevan dalam perbincangan tentang pengalaman hidup. Umur manusia menjadi tidak terbatas oleh waktu maupun ruang.
Manusia menjadi tidak pernah bisa mati. Tidak ada lagi distingsi antara kehidupan dan kematian. Semuanya sama saja, karena momen-momen sejarah yang melibatkannya justru bisa saling bertemu serentak, berbaur kacaubalau. Tokoh-tokoh The Time Tunnel, Back To The Future, Time-Trax dan lain-lain itu, umurnya tidak bisa dihitung secara matematis dan logis berdasarkan konvensi kalendris tentang pergantian siang dan malam. Umur dan pengalaman menjadi tidak utuh melainkan fragmentaris tapi sekaligus juga tak berbatas. Tokoh Vincent Vega dalam Pulp Fiction-nya Quentin Tarantino, tetap hidup sampai akhir cerita meskipun sebelumnya ia telah ditembak mati saat keluar dari toilet.
Kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa masa lalu ada di belakang dalam ruang, sebab bagi Spielberg kemarin justru terletak di depan sedangkan hari esok adalah latar belakang ke mana ia bisa kembali. Sebaliknya masa depan bukan selalu yang dinanti akan tiba, sebab dalam cerita-cerita di atas ia justru bisa ditinggalkan (artinya sama-sama sudah atau lebih dahulu terjadi). Waktu yang tidak lagi bergandengan dengan pasangan ruangnya menjadi realitas yang fantastis, rumit, tak ada awal tak ada akhir. Hidup seperti langit. Tanpa tepi hanya sesekali mendung, terik, badai atau sekedar gulungan awan. Terus seperti itu, kekal. Sekwen-sekwen awal, tengah dan akhir sama-sama tidak bisa dipastikan secara definitif.
Klaim bahwa eksistensi manusia dicirikan oleh kesanggupannya untuk menjangkau masa lalu, mengenali hari ini, serta menemukan hari esok, bisa benar bisa pula keliru karenanya. Pertama, karena klaim seperti itu lahir dari pandangan yang mengandung tiga kriteria yang didasarkan pada asumsi linearitas waktu tadi. Ketiganya adalah kriteria evaluasi atas masa silam yang sudah terjadi, aksi masa kini, dan kriteria proyeksi masa depan yang (dianggap) belum lagi atau menyusul akan berlangsung. Evaluasi dan proyeksi keduanya dikumpulkan dalam ruang masa kini dengan jalur teleologismenya yang khas: agar seluruh strategi bagi aksi yang dilakukan sekarang bisa lebih baik justru karena harapan akan masa depan yang lebih menggembirakan. Hari ini lebih baik dari kemaren, dan hari esok akan lebih baik dari hari ini. Begitu seterusnya. Dan itulah yang disebut sebagai cita-cita tentang progress.
Kedua, karena pemusatan orientasi tadi maka pandangan di atas senantiasa membawa implikasinya yang ironis. Yakni anggapan bahwa hari ini adalah sisa hidup di atas bangkai masa silam yang memproduksinya, dan melulu sekedar persiapan menunggu masa depan. Dalam praktik, masa depan senantiasa menjadi sumber permafaan dan apologi bagi segenap malapetaka yang kita buat hari ini. Tapi masa lalu juga senantiasa tampil dalam derajatnya yang khas: residu yang selalu merasa paling tahu dan paling berhak mengatur karena pengetahuan yang lebih lengkap tentang sejarah. Semuanya berdalih demi hari dan generasi yang akan datang. Suksesi sejarah dipahami dalam makna pergantian-pergantian yang berurutan, evolutif. Masing-masing periode tidak diberi martabatnya sendiri bahwa, misalnya, masa kini bukanlah semata pengganti masa silam dan perintis masa depan. Sebab semuanya bisa diproduksi dan direproduksi secara fantastis kemudian dihadirkan secara acak dengan kebolehjadian tanpa batas. Teleologisme hanyalah ilusi lain dari doktrin rasionalitas.
Dunia kita bolehjadi tidaklah pejal dan padat seperti yang selama ini kita yakini. Banyak terowongan-terowongan waktu, koridor-koridor antar ruang, yang memungkinkan lancarnya lalulintas dari dan ke segala zaman. Semua serba transparan baik untuk dilihat tapi juga dialami. Dan di sana sama sekali tidak ada pintu larangan masuk. Rahasia penciptaan dunia, misteri kehidupan, kabut kematian semuanya terpampang berbarengan di depan mata.
Jika pada tahun 1995 saya memakai kata "nanti" untuk menunjuk apa yang dalam konvensi lama berarti "setelah" tahun 1995, misalnya, maka itu tidak dengan sendirinya berarti tahun 1996 atau 1998 atau tahun 2095 atau sebuah kehidupan akhirat di seberang realitas empirik, etcetera, melainkan bisa saja tahun 1994 atau 1776 atau tahun kelima sebelum Masehi. Angka-angka tahun tadi tidak lagi bisa diurut dalam deret hitung logika matematika konvensional. Dengan cara yang sama kita bisa keliru kalau langsung meyakini bahwa tahun 1993 atau 1779 itu sebagai kategori "yang lalu". Sekarang menjadi jelas kenapa saya menggunakan ungkapan "yang lain" dalam awal tulisan ini.
Ketika Natalie Cole berduet dengan almarhum ayahnya, Nat King Cole, misalnya, apakah ia masih bisa mengatakan bahwa ayahnya tak lebih dari bagian masa lalunya yang telah lewat dan tak bisa ditemui kembali secara nyata? Reruntuhan yang sekarang hanya bisa ditemukan dalam kenangan? Padahal sewaktu ia kecil dan Nat masih hidup, Natalie toh belum lagi bisa bernyanyi sebaik itu. Tidakkah dengan duet tersebut Natalie sedang berjumpa dengan sebuah pengalaman historis? Mereka bernyanyi bersahut-sahutan, sementara ayahnya dikonstruksikan oleh pikiran kita sebagai orang yang "telah mati". Sejak kapan manusia mati masih bisa bernyanyi? David Foster terbukti tidak membatasi persoalan itu sebagai pertanyaan tentang probabilitas empirik, melainkan berhasil mewujudkannya secara fantastis dan mencengangkan.
Foster telah menghidupkan kembali Nat? Lebih dari itu. Ia bahkan berhasil mengajaknya ke dapur rekaman dan mempertemukan Nat dengan Natalie, untuk kemudian memberinya kesempatan berkompetisi dengan penyanyi-penyanyi lain dalam merebut posisi tangga lagu popular. Anda pasti kebingungan untuk memastikan adakah sang putri yang kembali ke masa lalu untuk bisa bertemu dan bernyanyi dengan Nat, atau sebaliknya sang ayah yang kembali ke masa depan agar bisa mendendangkan Unforgattable bersama Natalie buah cintanya. Nat dan dan Natalie keduanya telah sanggup mengatasi kematian. Dan Natalie terguncang, mengisak lantas pecah sedusedan mengalami momen sejarah seperti itu.
Sebagai Forest Gump, Tom Hanks bahkan bisa bertemu dan berjabat tangan dengan marhum John F. Kennedy, atau memperlihatkan bokongnya pada Lindon B. Johnson yang asli. Benar-benar real: Seandainya (hanya) adegan tersebut disiarkan dalam sebuah acara warta berita CNN misalnya, boleh jadi kita akan bisa diyakinkan bahwa Forest Gump yang dungu itu adalah seorang tokoh historis, sebagaimana Kennedy atau Johnson. Tapi Anda tidak perlu bersusah hati, sebab persoalan kepastian tidak relevan dalam konstruksi realitas seperti ini. Semuanya serba mungkin. Kenangan dan harapan bisa dihadirkan menjadi realitas yang fantastis. Lebih nyata dari yang nyata. Bukan surreal, tapi hyperreal.
Karena itu pula, gelegar berita duka kematian Nike Ardila atau Benjamin Sueb, tidak perlu membuat kita murung sepanjang tahun. Bukan hanya karena kemurungan itu tidak produktif secara ekonomis melainkan, lebih dari itu, karena mereka toh tidak benar-benar mati. Karena bagian terbesar dari kita mengenal Nike atau Ben tidak melalui interaksi fisik langsung, melainkan lewat berbagai jalan representasi dalam media.
Ketika kita mendengar kabar kematian keduanya dari sebuah surat kabar misalnya, kesadaran kita akan kehadiran mereka tidak mengacu pada seorang lelaki Betawi yang bernama Benjamin Sueb atau gadis kelahiran Bandung bernama Nike Ratnadila yang real, melainkan pada sederetan panjang citra suksesifnya dalam media massa lain seperti televisi, film, dan radio vice versa. Tidak sebagai manusia tapi model yang hidup dalam satu wilayah tertentu dari indra dan kesadaran (baru) kita. Meminjam argumen sosiolog Perancis, Jean Baudrillard, perjumpaan kita dengan mereka berlangsung tidak dalam sebuah dunia real tapi hyperreal. Sebuah dunia yang lebih nyata dari yang nyata. Dalam dunia seperti ini, batas antara fiksi dan kebenaran menjadi tidak relevan.
Melalui jaringan informasi massa yang memproduksi dan mereproduksi citra itulah, sebagian dari kita mengalami pembentukan rasa simpati, kagum sekaligus hormat atau benci pada sekian banyak orang yang sebenarnya tidak kita kenal secara personal. Citra hadir menjadi semacam representasi mental kita. Antara Benjamin, Ardila, media dan kita telah berlangsung implosi yang tuntas. Maka kematiannya bukan hanya melahirkan duka yang real bagi keluarga, sanak kerabat atau orang-orang terdekatnya, melainkan juga merupakan harubiru kepedihan hyperreal khalayak ramai yang mengimplosi dengan citranya dalam media. Sama seperti kabar baik tentang mereka telah menjadi bagian kebahagian kita yang mengagumi citranya.
Sangat muskil untuk membedakan adakah kesedihan kita itu didorong oleh simpati dan tertuju pada sosok mereka yang real, atau didesak oleh kesan kita tentang dan tertuju pada sosok keduanya yang hidup di dunia hyperreal. Kedua jenis kesedihan tadi sama-sama syah baik secara etis maupun politis. Sebegitu jauh kita tidak bisa menuduh diri kita sendiri telah justa karena ikut berduka cita atas kepergian Ben atau Nike Ardila ini. Semuanya benar-benar kepedihan sangat nyata bagi kita.
Tapi sekali lagi, dalam dunia hyperreal tidak ada kematian seperti juga tidak ada kehidupan real. Segala yang mati bisa dihidupkan, persis seperti semua yang hidup bisa dimatikan. Yang tiada bisa diadakan untuk meniadakan yang ada atau sebaliknya, dan seterusnya. Semuanya bisa direproduksi, dan direduplikasi tanpa batas. Maka baik Ben atau Nike tetap tidak mati di mata dan hati kita, bukan hanya karena mereka pergi meninggalkan jejak yang memukau dalam kenangan, tapi karena keduanya adalah citra yang bisa terus-menerus dihidupkan kembali. Boleh jadi sebenarnya kita tidak pernah jadi pencinta seorang artis mana pun, melainkan konsumen pelbagai model ke mana realitas dan hidup kita digiring untuk mencontohnya. Ini adalah jaman budaya simulacrum dalam apa citra, seperti kata Guy Debord, telah menjadi bentuk final dari reifikasi komoditi.
Hidup dan mati tidak memiliki jarak waktu atau ruang, sehingga sejarah tidak lagi mengenal awal (kelahiran). Dan segala sesuatu yang tidak memiliki awal pasti tidak akan pernah berakhir (kematian). Persis seperti ambisi Dr. Faust yang ingin membuktikan bahwa pada diri manusia terdapat pengetahuan ilahiah--yang menjadikannya sanggup mengatasi kefanaan.
Terowongan waktu, koridor antar zaman adalah produk langsung dari ketakjuban kita pada dunia hyperrealitas yang kita buat sendiri. Tapi di lain pihak, semuanya sekaligus merefleksikan dua hal yang paradoksal. Pertama, adanya disilusi pada janji modernitas tentang sebuah kehidupan yang tertata, logis dan rasional. Kedua, terdapatnya hasrat primitif manusia untuk mengatasi segala keterbatasan, yang juga merupakan ambisi besar modernitas yang sama. Ambisi pada kekekalan segala hal, sehingga apa yang telah hilang dan/atau yang belum lagi datang, ingin kita rengkuh dalam satu jangkauan. Karena hanya mimpi, semua itu boleh jadi masih terlampau sulit didekatkan pada kenyataan. Maka hanya dengan mengimplosikan diri dalam dunia hyperrealitas batas antara mimpi dan jaga itu bisa dilenyapkan. Dengan demikian, dunia hyperrealitas menjadi semacam terjemahan sekular dari konsep syurga yang kekal dan teramat menyenangkan itu. Tidak ada batasan, tidak ada larangan, hanya keabadian dan hasrat yang terus didorong untuk membeli.
Mungkin karena itu, banyak orang yang pesimis bahwa dalam zaman ketika keajaiban tidak lagi turun pada orang seorang melainkan telah direbut oleh teknologi ini, segala hal bisa diraih asal kita tidak lagi berkeras untuk menjadi diri kita sendiri. Jadilah Forest Gump, Vincent Vega, atau duplikat-duplikat lain dari jutaan model yang memang tidak memiliki kaitan dengan asal-asal historis itu. Ambisi pada kekekalan di sisi lain juga berarti semakin kuatnya paksaan bagi kematian manusia, yang lantas berubah menjadi salinan model-model. Saran Nietzsche untuk menjadi ubermench mendapatkan kemungkinan teknisnya pada kejeniusan Einstein. Hollywood kemudian membuktikan bahwa Manusia-atas tersebut ternyata tidaklah musti seseram wajah Nietzsche atau Einstein, tapi malah menggiurkan seperti Sharon Stone atau Maria Mercedes. Dan model-model dari dunia hyperreal itu memang bergerak dalam kecepatan dan semuanya dihidupkan oleh serta bergerak sebagai cahaya.