Catatan Personal: Kawan-kawan di situs Jalankaji meminta seluruh redaksi menulis singkat tentang buku favorit mereka di tahun 2020. Bagi saya ini tidak terlalu mudah, karena lebih dari separuh waktu saya di tahun 2020 habis untuk mengerjakan buku Sudah Senja di Jakarta(SSDJ) bersama teman-teman di Populi Center. Tapi karena diberlakukan Work from Home (WFH) waktu yang tersedia jauh lebih melimpah dari biasanya. Dalam interval waktu itu pula saya menemukan buku Japanese Wordworking Tools. Their Tradition, Spirit, and Use (1984). Di luar dugaan buku ini ternyata berisi banyak hal yang sejak lama ingin saya ketahui tentang seluk beluk tradisi pekerja kayu di Jepang yang mengagumkan itu. Maka inilah buku yang saya pilih untuk diceritakan dalam rubrik "bacaan favorit editor" di situs Jalankaji tadi.
Karena kebetulan ada libur cukup panjang di akhir tahun, dan sebagai selingan dari postingan tulisan-tulisan lama, saya mencoba mengembangkan tulisan singkat untuk Jalankaji tadi berikut ini:
Suatu saat saya ingin bisa menulis tentang kayu, karena sejak kecil saya suka mendengar suara ketika bilah ketam yang tajam mengupas permukaan papan atau balok Jati, menghempaskan lapisan tipis-tipis melalui lubang di punggugnya. Berulang-ulang. Sruit…sruit…sruit…Bunyi yang nyaring bening, bersih, menukik tapi tetap terdengar halus di ujung. Musik.
Setiap sebilah logam yang terasah sangat tajam di tangan yang sangat terlatih berhantaman dengan lapisan keras kayu Sonokeling atau Jati atau kayu apa saja, itu seperti mengisyaratkan selalu ada luka pada segala yang tampak mempesona di permukaan. Kekerasan yang menghaluskan. Cantik itu luka kata pengarang Indonesia ternama, Eka Kurniawan.
Saya menyukai bunyi ketam menerkam muka-muka kayu seperti saya suka mendengar suara kesiur angin membawa hujan meningkahi polah pucuk-pucuk ranting pada serumpun bambu. Atau seperti ketika saya merasakan keterpukauan Sapardi Djoko Damono melihat pergumulan cinta membara antara api dan kayu, yang maknanya tidak bisa seluruhnya diringkus oleh kata-kata. Bahkan oleh kata-kata Sapardi sendiri.
Lepas dari hal-hal melodramatis itu, Japanese Woodworking Tools. Their Tradition, Spirit and Use (1984), yang ditulis oleh Toshio Odate menghubungkan saya secara imajinatif dengan bunyi-bunyi yang saya sukai tadi. Karena itu ia jadi bacaan favorit saya tahun 2020 ini. Dimulai dengan cerita penulisnya tentang makna dan posisi dari para pekerja kayu di Jepang, buku ini membahas banyak aspek dari tradisi pengerjaan kayu di kalangan masyarakat Jepang. Penulisnya sendiri adalah seorang shokunin yang sudah bermigrasi ke Amerika Serikat selama puluhan tahun, dan dia merasa bahwa minat orang Amerika pada tradisi pengerjaan kayu a la Jepang terus membesar.
Bagian yang cukup menarik di buku ini adalah cerita tentang lokasi spasial para pekerja kayu dalam struktur sosial masyarakat Jepang yang, berbeda dengan di negeri kita ini, menempatkan mereka pada posisi cukup terhormat. Mereka jadi semacam empu, kecuali bahwa yang dibuatnya bukan keris tapi pintu-pintu geser (tategu), jendela, ornamen panel-panel kumiko, atau sambungan-sambungan kayu yang rumit tapi sangat fungsional dan cantik. Kalau almarhum Sutan Takdir Alisjahbana melihat bahwa dari jurusan nilai kebudayaan orang Indonesia lebih didominasi oleh aspek-aspek ekspresif seperti tampak pada produk-produk ekspresi simbolik seni dan budaya, saya kira dalam konteks terbatas ini Jepang memiliki unsur tersebut dalam derajat yang lebih pekat.
Mereka yang mumpuni melakukan pekerjaan perkayuan adalah orang yang berhasil memadukan kemampuan perhitungan matematis untuk menjamin hasil yang presisi dan kokoh, dan selera artistik yang sangat memberi perhatian pada detail sehingga menjamin bentuk-bentuk produk yang presisi itu tampil menawan mata dan hati. Di samping itu, karena Jepang merupakan negara dengan empat musim, mereka juga harus memiliki kemampuan memperhitungkan daya muai dan mengkerut kayu ketika mengalami perbedaan musim yang ekstrem, terutama antara musim panas dan musim dingin. Dalam salah satu video yang pernah saya tonton, pengerjaan kayu di Jepang juga memperhitungkan posisi pohon kayu ketika masih hidup di hutan. Ketika kayu dipakai untuk membangun rumah, mereka harus memastikan bahwa bagian atas kayu dalam posisi hidup itu tidak terbalik diletakkan di bawah. Alasannya itu akan seperti manusia yang dipaksa berdiri dengan kepala tegak di bawah. Pasti sangat menyakitkan.
Shokunin dalam bahasa Jepang berarti “craftsman” atau “artisan” dalam bahasa Inggris. Dua kata dalam bahasa Inggris itu pun konon tidak bisa sepenuhnya menangkap makna kata “shokunin” sebagaimana ia dipahami oleh penutur bahasa Jepang. Saya sendiri sama sekali tidak menguasai bahasa Jepang, tapi istilah ini kemungkinan bukan hanya mengacu pada orang-orang yang berprofesi di bidang perkayuan melainkan juga pada keahlian-keahlian lain. Tapi untuk konteks buku karangan Toshio Odate ini cukuplah kita pahami shokunin sebagai empu dalam perkayuan. Seperti mendiang ayah tirinya yang di era Perang Dunia dekade 1930-1940an adalah seorang pembuat tategu terbaik dan tercepat di Perfektur Chiba, Odate sendiri adalah seorang tategu-shi atau pembuat pintu geser yang kelak di kemudian hari menjadi seorang shokunin. Salah satu yang dikenang Odate tentang sikap ayah tirinya ia dedahkan dalam kalimat-kalimat berikut:
Profesi ayah tiriku sebenarnya adalah pembuat pintu-pintu geser yang sangat rumit, dan dalam pekerjaan ini dia merupakan salah satu yang terbaik dan tercepat. Namun ia harus bekerja dengan peralatan-peralatan berkualitas rendah dalam proyek pekerjaan apa pun yang ia dapatkan. Kalau saya mengenangnya kembali saat ini, saya sadar bahwa itu pasti sangat sulit baginya untuk secara emosional menerima kondisi tersebut. Tapi ketika saya melihatnya bekerja, saya tidak pernah melihat selintas pun bayangan dari kesulitan atau kekecewaan. Yang saya lihat hanya seorang shokunin yang bekerja penuh rasa bangga. (Odate, 1984: 3).
Saya kesulitan mencari padanan yang terasa pas dalam bahasa Indonesia, karena istilah umum yang biasa kita pakai di sini untuk menyebut mereka cenderung bermakna peyoratif, “tukang kayu”. Dalam istilah “tukang” tidak ada konotasi tentang “craftsman” atau “artisan”, melainkan “pekerja kasar”, orang-orang yang nilainya lebih banyak ditentukan oleh keterampilan teknisnya yang tidak terlampau tinggi dan besaran upah dalam nominal rupiah yang tidak begitu besar. Padahal para shokunin di Jepang bukan hanya orang yang memiliki kecakapan teknis dalam pengerjaan kayu melainkan juga mewakili sebuah sikap dan kesadaran sosial tertentu.
Mereka memiliki semacam obligasi sosial demi kemaslahatan umat, bekerja bukan hanya untuk mencari upah tapi juga mengukuhkan nilai. Para shokunin adalah mereka yang sangat ahli membuat barang-barang cantik dari kayu (atau pada dasarnya produk apa saja) dan memiliki kesanggupan menyelesaikannya dalam waktu sangat cepat. Kombinasi antara kecemerlangan seniman dan kecepatan kerja itulah yang membuat seseorang menjadi shokunin. Yang satu tidak bisa tanpa yang lain. Penghinaan terbesar bagi mereka adalah kalau sampai dianggap sebagai pekerja yang lambat. Singkatnya, pekerjaan shokunin itu merupakan ihwal material sekaligus spiritual.
Yang memungkinkan perpaduan antara kecakapan seni dan kecepatan mereka tentu saja adalah alat-alat yang mereka gunakan. Buku Japanase Woodworking Tools membahas satu per satu perlengkapan para shokunin mulai dari tempat kerja (workshop), alat penanda (marking tools), penggaris siku, gergaji, pahat, ketam (serut, kanna), ganden (palu kayu), dan perkakas-perkakas lain sampai jenis-jenis batu asahan dan cara dan tradisi mereka mengasah perkakas-perkakasnya itu. Sebagian besar perkakas perkayuan yang dipakai orang Jepang berasal dari Cina, dan lantas mengalami penyesuaian dalam beberapa hal mengikuti kebiasaan kerja para shokunin.
Yang dimaksud workshop oleh Odate tidak harus berarti sebuah bengkel kerja yang luas, yang berada dalam sebuah ruangan khusus seperti yang mungkin biasa ditemukan di kalangan para pekerja kayu di Eropa dan Amerika. Workshop pekerja kayu tradisional Jepang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan dingklik atau bangku kerja yang biasa digunakan para pekerja kayu di Indonesia: sebuah balok kayu (planing beam) yang disangga oleh kaki kuda-kuda di masing-masing ujungnya, dengan tinggi yang berbeda untuk keduanya sehingga membentuk sudut kemiringan tertentu.
Gergaji Jepang (nokogiri) pertama kali didatangkan dari Cina melalui Korea berabad-abad lalu. Secara garis besar ada dua jenis gergaji yang dipakai para shokunin. Yang pertama adalah kataba yang hanya memiliki satu sisi bergigi tajam, dan ryoba. Kataba ada yang khusus untuk memotong, ada pula yang khusus dipakai untuk membelah. Berbeda dengan kataba, gigi-gigi tajam ryoba berada di kedua sisi, di perut dan punggung, untuk dua kebutuhan yang berbeda itu. Bentuk asli gergaji Jepang adalah sebuah gergaji potong kecil yang giginya bisa bekerja baik ketika didorong maupun ditarik.
Di Jepang gigi-gigi gergaji ini kemudian diubah sudutnya sehingga bisa bekerja ketika sedang dalam posisi ditarik. Menurut Odate, penyesuaian ini masuk akal karena tradisi bekerja para shokunin biasanya dalam posisi duduk di lantai. Dalam posisi duduk, kita tidak bisa memanfaatkan berat tubuh dan otot-otot lengan kita untuk mendorong dengan kuat seperti ketika berdiri. Sebaliknya, ketika duduk kita justru bisa memanfaatkan seluruh otot dalam tubuh untuk menarik gergaji tanpa harus bergantung kepada berat tubuh kita. Tampaknya, menurut Odate, bagi para shokunin jauh lebih mudah mengubah cara kerja gergaji dari didorong menjadi ditarik daripada harus mengubah cara tradisional kerja mereka (h.35).
Mengasah adalah hal fundamental yang mutlak harus dikuasai cara terbaiknya oleh setiap pekerja kayu, karena hanya perkakas yang super tajam yang bisa memberikan hasil sempurna. Jepang sudah sangat terkenal dengan ketajaman pedang katana yang sering disebut terbaik di dunia. Kualitas baja dan keahlian para pandai besi menempanya memang akan menentukan kualitas perkakas-perkakas yang terbuat dari logam. Tapi soal ketajaman, yang paling mentukan tentu saja adalah batu asahan dan teknik atau metode mengasahnya.
Bagi para shokunin, bilah pisau dan batu asahan itu seperti sepasang pengantin yang sempurna. Puncak ketajaman tercapai ketika bilah pisau yang keras dan sensitif diasah di atas batu asahan yang halus dan lembut (h. 129). Ketajaman datang dari kelembutan dan kehalusan. Dalam buku ini Odate menceritakan secara sangat detail bagaimana proses-proses yang berlangsung yang berakhir pada bilah-bilah pisau yang super tajam itu; dimulai dari proses penempaan baja oleh para pandai besi sampai pengasahannya di atas batu asahan.
Simbol para shokunin adalah kotak perlengkapan (toolsbox) tempat mereka menyimpan seluruh perkakas kerjanya. Banyak orang bilang, kata Odate, bahwa kemampuan para shokunin tidak perlu diukur dari hasil kerjanya, karena dengan melihat kotak perlengkapan mereka saja sudah cukup. Namun ada etiket bahwa melihat isi kotak perlengkapan shokunin adalah tidak sopan, apa lagi kalau sampai memeriksa ketajaman perkakasnya.
Saya akui bahwa saya merasa tidak nyaman kalau sampai ada orang melihat-lihat ke dalam kotak perkakasku, dan saya tidak suka orang lain menyentuh peralatanku. Tidak bisa tidak saya menganggap itu merupakan invasi ke dalam wilayah privasi saya. Ikatan antara shokunin dengan perkakasnya tidak hanya bersifat praktis tapi juga emosional dan spiritual; ikatan semacam ini, sekali dialami, tidak mudah diabaikan atau diubah. Saya merasakan ini bukan hanya tentang perkakas-perkakas manual (hand tools) saya, tapi juga tentang semua perkakas mesin yang saya miliki, dan saya tentu saja bisa menepis sikap tersebut secara intelektual, tapi saya tetap tidak bisa merasakan sebaliknya (h. 10).
Tidak semua jenis perkakas perkayuan yang dibahas di buku ini jamak dimiliki seluruhnya oleh semua pekerja kayu di Indonesia. Sebagian besar tukang kayu di sini tidak memiliki kesanggupan untuk berinvestasi dengan membeli perkakas yang lengkap, karena mereka hanya bekerja berdasarkan pesanan atau perintah pihak lain. Untuk membangun rumah, baik rumah perseorangan maupun untuk jumlah yang lebih besar seperti kompleks-kompleks perumahan, para mandor dan pemborong yang biasanya mengusahakan penyediaan perlengkapan perkakas yang tidak dimiliki para pekerja.
Ini salah satu masalah kronis dalam sistem relasi ketenagakerjaan di negeri kita. Para tukang itu hanya dihitung sebagai bagian dari rangkaian instrumen yang, bersama alat atau perkakas-perkakas lain, dimaksimalisasi penggunaannya untuk produksi. Dalam lingkungan pekerjaan seperti itu, para pekerja tidak punya kesempatan melakukan pekerjaan untuk pemenuhan dirinya sendiri. Mereka adalah para pekerja yang selalu anonim: ketika rumah-rumah megah dan mewah itu sudah berdiri dengan kokoh, siapa dan ke mana para pekerjanya pergi, tidak banyak yang mau peduli.
Secara amatiran selama dua tahun belakangan ini saya mencoba belajar sendiri menggunakan beberapa perkakas kayu yang biasa digunakan para tukang kayu di Indonesia. Saya mulai memahami, paling tidak untuk saya sendiri, butuh ratusan jam praktek menggergaji ditambah puluhan jam nonton bermacam-macam video di Youtube, sekadar untuk bisa memotong sebilah papan dengan hasil potongan yang benar-benar lurus, rata dan tegak lurus (perpendicular). Kita mungkin sudah mulai bisa memotong mengikuti garis potong yang kita torehkan dengan pensil atau marking gauge di sisi permukaan yang menghadap ke arah kita, tapi belum tentu itu tetap bisa konsisten pada bagian dalam dan permukaan di bagian punggungnya yang ketika kita menggergaji tidak tampak di depan mata.
Saya harus terus berlatih sampai otot-otot lengan saya mengingat semua gerakan dan sudut yang tepat untuk menghasilkan garis potong terbaik. Itu pun saya masih saja terus melakukan kesalahan. Sampai hari ini. Dan karena ceroboh beberapa bagian punggung telapak tangan saya kadang keserempet gigi-gigi gergaji. Luka. Berdarah. Cantik itu memang luka. Tapi saya selalu ingat penggalan kata-kata Chairil Anwar dalam Aku, “luka dan bisa kubawa berlari/berlari/hingga hilang pedih perih” (saya tentu saja sedang ngelantur kali ini!).
Saya juga sempat membeli beberapa bilah gergaji Jepang (nokogiri) jenis ryoba yang bisa dipakai untuk memotong dan membelah kayu sekaligus. Selain ketajamannya memang berada di atas rata-rata gergaji yang dipakai para pekerja kayu di Indonesia, karena ryoba bekerja menyergap dan melahap kayu bukan ketika didorong tapi justru ketika ditarik, bilahnya bisa sangat tipis dan hasil potong/belahnya juga jauh lebih halus dan rapi dari gergaji biasa. Saya berencana ingin menuturkan beberapa dongeng kecil tentang bermacam-macam perkakas ini nanti, setelah pengetahuan cukup dan percobaan personal saya sudah dilakukan relatif saksama.
Dalam hal mengetam kayu saya juga melihat orang Jepang memiliki cara yang berbeda. Kalau di Indonesia, Eropa dan Amerika orang mengetam kayu dengan mendorong ke depan, orang-orang Jepang cenderung menarik ke arah tubuh si pekerja. Cara penggunaan dua jenis perkakas ini sempat membuat saya berpikir melantur jauh, jangan-jangan itu ada hubungannya dengan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat Jepang yang cenderung memberi beban tanggung jawab sangat besar kepada individu, bahkan ketika itu merupakan pekerjaan yang berbahaya. Atau justru sebaliknya, orang-orang Jepang itu cenderung mengambil seluruh tanggung jawab secara personal, sehingga kegagalan dalam pekerjaan seperti merupakan dosa personal yang harus ditebus dengan pengorbanan terbesar dalam hidup.
Tapi itu baru dugaan saya, dan untuk menulis soal yang sangat subtil seperti itu pasti butuh sangat banyak bacaan lain. Saya masih jauh untuk sampai ke situ. Ada satu hal yang cukup mendorong rasa penasaran lain: dalam politik di Indonesia, kalau seorang pejabat melakukan kesalahan maka ia akan membuang jauh-jauh kesalahan itu ke luar dari tanggungjawab personalnya, dan mengempaskannya kepada orang lain. Seperti ketam yang didorong menjauh dari tubuh untuk mengempaskan lapis-lapis tipis kayu dari lubang pembuangannya.
Di Eropa dan Amerika cukup biasa melihat pejabat mundur karena terlibat kasus pelanggaran hukum atau etika. Padahal tradisi mereka menggergaji dan mengetam sama persis dengan di sini. Tampaknya hanya di Indonesia yang tidak memiliki tradisi seperti itu. Kebiasaan mengetam, kalau begitu, bukanlah rujukan tradisi yang bisa disalahkan. Untuk sekedar memperkeruh pikiran, saya mencoba menarik soal ini ke titik yang lebih esktrem: Kalau tabiat para pejabat tidak memiliki referensi kultural, tidak berjejak dalam peradaban yang mereka selenggarakan secara kolektif dengan sesamanya, apakah kita bisa memberi label pada sikap dan prilaku seperti itu sebagai sikap dan prilaku tidak beradab?
Setelah membaca buku karya Odate ada yang keras sekali menghantam batok kepala saya. Jepang memproduksi semua mesin elektrik untuk seluruh jenis pekerjaan perkayuan yang ada di dunia. Mereka menjualnya ke mana-mana. Tapi tradisi lama mereka, pekerjaan-pekerjaan artistik dan penguasaan geometri secara manual, bukan masinal, tetap hidup dan pelan-pelan terus menebar pesona ke sembarang tempat. Pada bangunan-bangunan kuil yang bertahan berabad-abad, misalnya, di situ bisa dilihat teknik dan seni penyambungan kayu a la Jepang yang bahkan sanggup mengatasi ratusan pergantian musim, dan dikerjakan dengan perhatian yang sangat tajam pada detail bahkan sampai hal paling kecil.
Orang seperti Toshio Odate berpuluh-puluh tahun hidup di Amerika dan tetap menjadi seorang shokunin. Dia mengajarkan keahliannya kepada orang lain berbilang-bilang musim lamanya. Ada jejak panjang peradaban yang terus dihidupkan dengan rasa bangga. Mungkin karena kita tidak memiliki tradisi mengatasi tantangan musim, banyak tradisi kultural kita dalam pekerjaan-pekerjaan semacam ini yang cenderung mudah dilupakan, sebagiannya diganti perkakas mesin, sebagian yang lain diganti bahan aluminium. Tapi mungkin juga bukan itu alasannya.
Tradisi pekerja kayu di Indonesia sudah tidak lagi melahirkan empu yang mumpuni melainkan hanya barisan pencari kerja dengan upah minimum. Di atasnya kita hanya punya para pedagang kayu, baik mereka yang berjualan kayu mentah maupun yang mencari laba dari berjualan perkakas-perkakas yang dibuat dari kayu, yang semata-mata dibuat untuk menghasilkan uang. Tidak ada nilai yang dipertahankan selain nilai jual. Tidak ada kultur yang bisa tahan umur selain keharusan untuk menjadi makmur.
Dalam lingkup kapitalisme perkayuan semacam itu, satu hal yang sudah pasti: para pekerja dan pedagang kayu di Indonesia sangat akrab dengan dan sering kerepotan menghadapi rayap yang buas di sekelilingnya.