Normalisme Jakarta

Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.


“Blog

Bagi sebagian orang, ada satu hal yang disyukuri setiap kali Jakarta disergap kecemasan: banyak ruas jalan akan sepi, lalu lintas akan sangat lancar, dan Jakarta jadi terasa lebih manusiawi. Karena itu, meskipun terkesan kurangajar, sebagian orang justru mengharapkan Jakarta lebih sering dicekam isu kerusuhan. Mereka tentu saja bukan para penjahat atau politisi yang senang memancing di air keruh. Mereka hanya orang-orang biasa yang ingin hidup dalam kondisi “normal”.

Tinggal di Jakarta sejak beberapa tahun ini memang bukan soal yang mudah di kepala. Tidak hanya karena begitu tingginya biaya hidup dibanding rata-rata penghasilan setiap orang, melainkan juga karena begitu banyak orang telah jauh terperosok ke dalam labirin irasionalitas. Bagaimana menjelaskan harapan sebagian orang akan munculnya isu kerusuhan tadi? Apa yang berubah ketika sebagian yang lain justru ditelikung rasa takut setiap kali Jakarta bebas kemacetan di pagi hari? Kemacetan bergeser menjadi norma sekaligus normalitas.

Kalau rasionalitas dalam ekonomi, misalnya, diwujudkan dalam bentuk efisiensi alokasi biaya dan waktu, apa yang bisa dijelaskan dari kemacetan lalulintas setiap jam makan siang di jalur Jl. Sudirman? Mengapa orang begitu keranjingan memakai mobil pribadi?

Tampaknya memang ada yang berubah dalam cara orang memaknai keamanan dan kenyamanan hidup. Bagi sebagian besar warga Jakarta, dua hal itu berasosiasi pada kemacetan lalulintas. Naik mobil pribadi, dengan demikian, adalah satu politik identitas untuk jadi bagian dari kemacetan, jadi bagian dari normalitas. Satu bentuk pelibatan diri di dalam “the Same” yang bisa memberi rasa aman, dan menolak “the Other” yang menakutkan. Sebuah pilihan rasional bagi mereka, tapi sungguh irasional bagi Anda yang masih memelihara akal sehat—dan secara sadar menghindari Jakarta.

Normalisme dalam banyak hal memang absurd.

Jakarta, 21 Mei 2001