Dari Tower Inferno ke Duoveillance:

Preambul untuk Diskusi Kajian tentang Surveillance dan Sousveillance



“Blog


Tanggal 28 Agustus 2001, Mohamad Atta, 33 tahun, seorang siswa sekolah penerbangan berkebangsaan Mesir, berjalan memasuki sebuah kedai kopi Kinko (Kinko’s copy shop) di Hollywood, Florida. Ia lantas duduk di depan sebuah komputer yang terhubung ke dalam internet. Seperti banyak kedai kopi lainnya di kota-kota besar dunia saat ini, Kinko menyediakan komputer dengan akses internet bagi pengunjung yang datang. Atta masuk ke dalam situs Web American Airlines, membuka nomor account frequent-flyer yang telah ditandatanganinya tiga hari sebelumnya, dan memesan dua tiket sekali jalan (one way) kelas satu untuk penerbangan tgl 11 September dari Boston ke Los Angeles. Atta membayar kedua tiket tersebut—salah satunya untuk Abdulaziz Alomari, seorang siswa sekolah penerbangan asal Saudi Arabia yang juga tinggal di Florida—dengan kartu kredit Visa yang belum lama diisunya.

Hari berikutnya, Hamza Alghamdi, orang Saudi Arabia yang juga sedang menempuh latihan untuk jadi seorang pilot, pergi ke Kinko yang sama. Di sana ia menggunakan kartu debit Visa untuk membeli tiket sekali jalan pada penerbangan No. 175 maskapai United Airlines, juga untuk tgl 11 september dari Boston ke Los Angeles. Sehari sesudahnya, Ahmad Alghamdi, saudara Hamza, menggunakan kartu debit yang sama untuk membeli sebuah tiket kelas bisnis, juga untuk penerbangan No. 175; Ia mungkin telah melakukan itu juga dari Kinko Hollywood. Pada kisaran waktu yang sama, 15 orang Arab, beberapa di antaranya adalah siswa sekolah penerbangan, juga membeli tiket California-bound untuk penerbangan yang berangkat pada pagi hari tgl 11 September. Enam dari mereka telah memberikan nomor telepon rumah Atta kepada maskapai penerbangan yang dipesannya sebagai nomor kontak yang bisa dihubungi. Beberapa di antara mereka membayar tiket tadi dengan kartu kredit yang sama. Bahkan ada juga yang menggunakan nomor frequent-flyer yang persis sama.

Sekarang kita tahu bahwa orang-orang yang disebut dalam cerita di atas adalah mereka yang disebut-sebut terlibat dalam peristiwa peledakan menara World Trade Center, New York tgl. 11 September 2001 yang lalu. Tower Inferno itu bukan hanya telah menuliskan sebuah babak baru konstelasi politik dunia, tapi juga menggetarkan sendi-sendi kepercayaan kita pada sistem keamanan yang dirancang dengan biaya sangat besar. Terorisme pasti bukan hanya musuh Amerika Serikat, karena secara fundamental ia adalah musuh dari seluruh hasrat baik umat manusia. Ketika ia sanggup meratakan dua menara paling prestisius di dunia itu dengan tanah, yang dihancurkannya bukan hanya simbol peradaban kebanggaan Amerika, tapi juga salah satu bangunan tertinggi kepercayaan umat manusia pada keunggulan teknologi perlindungan diri.

Dalam hitungan menit setelah kita menyaksikan rekaman gambar peristiwa tersebut di layar TV, sontak kita tertegun dalam kubangan rasa tidak percaya. Bagaimana sebuah negeri yang didirikan di atas fondasi manajemen keamanan teknologi militer terbaik di dunia, itu bisa mengalami serangan terorisme paling menghancurkan yang pernah ada, tanpa sedikit pun bisa mencegah atau meminimalkan resiko bagi kehidupan warganya. Beberapa teori konspirasi yang kemudian berkembang seputar hal tersebut hanya menunjukkan sikap ambigu kita terhadap persoalan yang sebenarnya: bahwa tidak ada satu pun tempat yang sepenuhnya aman dari bahaya terorisme, tidak kecuali bangsa yang kebesaran dan kepongahannya se-Amerika Serikat sekalipun.

Mengacu pada catatan data yang terekam dalam sistem database di atas, kita pasti sulit menemukan relasi logis antara momen-momen dari setiap peristiwa itu dengan kemungkinan potensial terjadinya tindakan serangan terorisme tadi. Hubungan antardata yang ada sama sekali tidak memiliki arti apa pun sebelum ia diberi makna yang ditemukan melalui peristiwa sosial yang sudah terjadi sebelum analisis data dilakukan. Konkretnya, apa artinya data tentang sejumlah orang berkebangsaan Arab yang memesan tiket pesawat dari sebuah kedai kopi dengan menggunakan kartu kredit yang sama, itu dengan terorisme internasional?

Ribuan orang lain melakukan hal yang sama di dunia, datang ke kedai kopi, dan lantas terkoneksi ke dalam jaringan internet untuk sembarang jenis keperluan. Relasi antardata ditemukan setelah kejadian utamanya sendiri berlangsung, dan kita tidak memiliki kesanggupan apa pun untuk mencegahnya. Artinya, seluruh keganjilan yang muncul dari relasi antardata tersebut baru menjadi perhatian setelah segalanya porak-poranda. Dalam konteks yang lebih spesifik, data itu mungkin masih tetap penting untuk bisa mengungkap jaringan terorisme internasional, tapi tetap saja ribuan nyawa sudah terlanjur menjadi korban sia-sia dari kelemahan sistem perlindungan diri yang berbiaya sangat tinggi itu.

Amerika Serikat mungkin merupakan salah satu negara yang secara ekstensif telah menggunakan sistem database untuk hampir sebagian terbesar praktek kehidupan sehari-hari warganya. Ia, dalam kalimat lain, telah menjadi apa yang belakangan sering disebut electronically networked society, sebuah entitas sosial yang hampir sepenuhnya telah terintegrasi ke dalam sebuah jaringan elektronik raksasa mulai dari sistem transaksi melalui kartu kredit, interkoneksi jaringan internet, sampai proses pemungutan suara secara elektronik baru-baru ini. Ditemukannya data tentang proses transaksi pembelian tiket pesawat oleh Mohammad Atta dkk. di atas, dengan demikian, bukan sebuah peristiwa yang istimewa di dalam dirinya sendiri.

Sebaliknya, pengungkapan rekaman data dalam sistem database tentang aktivitas para pelaku peledakan WTC sebelum mereka melakukan aksi terornya tersebut, justru memperlihatkan masih terdapatnya jarak yang cukup lebar antara pemanfaatan teknologi pencatatan data tersebut dengan implementasi kebijakan politik dalam proses perlindungan keamanan warga masyarakat. Sebab rekaman data tersebut hanya menjadi pertimbangan ketika peristiwanya sendiri sudah berlangsung, dan teknologi pencatatan data tadi tidak terbukti bisa dimanfaatkan sebagai bagian dari apa yang sekarang ramai disebut sebagai sistem pencegahan dini (early warning system). Ia, dalam kalimat lain, efektif bisa digunakan untuk melacak pelaku setelah si pelaku melakukan aksinya, tapi tidak bisa sepenuhnya dipakai untuk menutup kemungkinan sebuah peristiwa yang merugikan umat manusia terjadi.

Yang lebih memprihatinkan tentu saja adalah akibat sosial susulan dari peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan 9/11 itu. Mereka yang membaca Huntington seperti menemukan verifikasi aktual terhadap prognosis ilmuwan politik internasional tersebut tentang benturan antar peradaban terutama antara Islam dan Barat. Beberapa warga dari negara-negara yang masuk ke dalam klasifikasi tertentu yang dibuat secara sepihak oleh Amerika Serikat, misalnya, sangat sulit mendapatkan visa kunjungan ke negeri tersebut. Dalam bentuk yang lebih konkret, setelah peristiwa 9/11 bukan hanya pemerintah Amerika Serikat yang memberlakukan kontrol ekstra ketat terhadap mobilitas manusia dari dan ke negerinya, melainkan hampir seluruh negara di dunia melakukan hal yang sama.

Semua bandar udara internasional maupun domestik mulai lebih teliti memeriksa orang yang ke luar masuk pelabuhan. Selain menimbulkan rasa tidak nyaman bagi semua orang, tindakan seperti itu justru juga memicu makin besarnya rasa tidak aman di kalangan masyarakat di seluruh dunia. Singkatnya, globalisasi dalam pengertian lalulintas bebas manusia dari satu negeri ke negeri lain, itu seperti sedang akan diakhiri oleh sebuah kekuatan yang sejak awal justru mempromosikan dirinya sebagai perintisnya yang paling gigih.



Dalam banyak hal perubahan adalah tirani. Ia membetot siapa pun nyaris tanpa ampun. Mungkin karena itu siapa pun yang memakai jargon perubahan untuk sebuah kampanye politik pantas dicurigai berbakat menjadi penipu rakyatnya. Sekarang segalanya berubah begitu cepat, sehingga kita seperti hidup di bawah tirani kecepatan. Dulu orang membayangkan dan mengasosiasikan pengawasan (surveillance) sebagai manifestasi dari sebuah kontrol otoritarian sebuah rezim kekuasaan totaliter. Rujukan paling terkenal tentu saja adalah tokoh Big Brother yang dipakai George Orwell dalam novel distopian 1984, yang mendepiksikan sebuah kuasa yang omnipresent sekaligus omniscient, ada di mana-mana dan tahu segala, karena ia secara konstan melakukan pengawasan total terhadap seluruh rakyat.

Pengawasan dalam konteks kontrol Big Brother melahirkan kondisi tidak aman bagi rakyat yang diawasi tapi menciptakan rasa aman bagi kekuasaan yang melakukannya. Sekarang pengawasan yang mahateliti tentang subjek-subjek individu manusia modern justru lahir dari kebutuhan subjeknya sendiri akan sebuah rasa aman yang makin langka. Ketika ledakan demi ledakan bom membetot nyali penduduk berbagai kota di dunia, banyak orang yang sekarang mulai bertanya, dalam bahasa Farhad Monjo, apakah Big Brother hanya satu-satunya harapan bagi kita untuk melawan Bin Laden. Dinyatakan dalam cara lain, orang mulai berputar keyakinan bahwa metode melawan terorisme tidak bisa dengan teknik konvensional, melainkan butuh cara-cara inkonvensional.

Pengawasan total(iter) yang semula identik dengan rezim-rezim kuasa opresif totaliter dan ditolak atas nama demokrasi dan kebebasan, itu kini justru berbalik mulai dipertimbangkan sebagai alternatif solusi untuk menjamin rasa aman warga negara. Perlu segera digarisbawahi bahwa yang dipertimbangkan kembali adalah metode pengawasannya, bukan kuasa opresifnya, meskipun dalam praktiknya dua hal tersebut hampir mustahil dipisahkan. Kita seperti menghadapi serangan kritis terhadap pikiran kita sendiri tentang relasi antara rasa aman masing-masing individu vis a vis kekuasaan negara, yang belum sepenuhnya hilang itu, dan kesadaran bahwa kesanggupan melakukan kontrol menyeluruh atas hidup kita sekarang bukan lagi monopoli negara tapi juga firma-firma kapitalis raksasa melalui pemanfaatan teknologi digital, dan bahwa kontrol menyeluruh itu mungkin dibutuhkan justru untuk menjamin rasa aman kita ketika ancaman datang bukan dari manipulasi kekuasaan negara melainkan dari sesama aktor non-negara seperti kelompok-kelompok teroris itu.

Kalau kalimat tersebut terlalu memusingkan, singkatnya begini: semula kita takut bahwa karena kuasa yang mahabesar dan data yang paling lengkap tentang warganya, maka negaralah yang akan mengontrol secara total kehidupan kita. Dalam negara-negara industri maju sebagian dari masyarakatnya bahkan lebih mempercayakan data itu kepada firma-firma komersial. Daripada sebagai warga negara mereka mungkin merasa lebih aman dan nyaman dengan hanya menjadi dari banyak perusahaan yang saling berkompetisi. Dalam kalimat lain, status sebagai konsumen produk perusahaan-perusahaan raksasa sampai batas tertentu lebih sanggup memberi rasa aman daripada status sebagai warga negara. Ini sebenarnya lebih buruk daripada ungkapan lama “keluar dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya”. Karena firma-firma itu kemudian menjadikan data tentang kita sebagai komoditi yang diperjualbelikan. Dengan kalimat lain, representasi digital kita bisa beredar dari satu pihak ke pihak-pihak lain di luar kesanggupan kontrol kita sendiri, dan bisa digunakan untuk berbagai kepentingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri kita sendiri. Data personal melepaskan ikatannya dari kontrol personal masing-masing individu, dan karena dalam dunia digital yang real adalah yang tampil dalam bentuk representasi digital maka data tentang diri personal itulah yang justru akan mempengaruhi eksistensi individu-individu yang direpsentasikan olehnya. Yang digital menggantikan yang aktual sebagai acuan yang real.

Tapi belakangan kondisinya mulai berbalik. Berhadapan dengan ancaman yang langsung membayakan jiwa manusia warga negara, tidak satu pun dari firma-firma itu yang memiliki kesanggupan untuk menghadapinya. Para pelaku teror bersenjata tidak mungkin dihadapi oleh Google, Microsoft atau Amazon, karena tidak satu pun dari mereka memiliki kesanggupan untuk itu. Kalau pun secara teknologis dan finansial mereka bisa, mereka tetap tidak memiliki kewenangan untuk melakukannya. Hanya negara yang, dengan seluruh sumberdayanya, memiliki fungsi dan kewenangan melindungi warganya dari serangan-serangan kejahatan semacam itu. Fungsi perusahaan-perusahaan itu hanya mencari laba untuk dirinya sebagai imbalan atas jasa yang mereka berikan kepada konsumen. Perusahaan-perusahaan raksasa itu mungkin tahu segalanya tentang kita, tapi tidak tahu bagaimana melindungi kita dari teror bom, peledakan gedung, penembakan, dan kekerasan-kekerasan teroganisir semacam itu. Lantas siapa yang memiliki kemampuan untuk melakukan itu semua? Jawabannya sudah pasti adalah negara. Karena hanya negara, melalui pemerintah, yang diberi wewenang untuk memonopoli instrumen-instrumen kekerasan militer dan melakukan tindakan apa pun, di dalam bahkan kalau perlu di luar otoritasnya, untuk menjamin keselamatan warganya. Keselamatan warga negara adalah hukum tertinggi dalam konsep bernegara.

Asumsinya sangat sederhana, bahwa kalau pemerintah memiliki akses untuk mengetahui apa pun yang dilakukan oleh orang atau sejumlah orang dalam radius pengaruh kekuasaannya, baik dia warga negara atau warga negara asing, ia bisa melakukan antisipasi dini dan mencegahnya. Persis itulah yang kemudian menjadi argumen dasar Departemen Pertahanan Amerika Serikat membentuk apa yang disebutnya Total Information Awarness, sebuah sistem yang dirancang untuk bisa mengumpulkan sekaligus menganalisa berton-ton data personal individu-individu warga, baik warga negara AS maupun asing. Yang dikumpulkan dan dianalisisnya adalah bekas-bekas tapak kaki elektronik (electronic footprint) yang biasa ditinggalkan oleh manusia modern dalam bentuk catatan transaksi kartu kredit, catatan bank, detail penggunaan email dan telepon, rincian perjalanan, dan kebiasaan menjelajahi berbagai situs di internet. Singkatnya terorisme telah mengakibatkan eksistensi negara kemballi relevan dalam masyarakat modern. Bukan hanya itu, terorisme internasional juga memungkinkan kembalinya pola-pola kontrol totalitarian oleh pemerintah terhadap seluruh warganya. Mimpi buruk di masa lalu menjadi harapan keselamatan hari ini.


“Blog

Artinya, banyak orang yang saat ini baru merasa aman justru kalau sudah diyakinkan bahwa mereka diawasi secara ketat. Atau sebaliknya, orang merasa aman kalau bisa melakukan pengawasan terhadap diri mereka sendiri setiap hari, dalam menit dan detik yang tidak terlewatkan oleh rekaman kamera. Mekanisme pengawasan semacam ini melampaui ideal struktur pengawasan model Panopticon yang diusulkan Jeremy Bentham, tapi juga melebihi interpretasi Foucault dalam Surveillance et Punir (Pengawasan dan Hukuman) yang meletakkan basis unit analisanya pada para tahanan dalam sebuah lokasi fisik tertutup. Kamera-kamera pengintai dipasang tidak di dalam sebuah struktur fisik bangunan yang dirancang secara spesifik untuk melakukan pengawasan, seperti menara pengawas yang berdiri tegak persis di tengah penjara Panopticon, melainkan di tempat-tempat terbuka dan dipakai untuk mengawasi siapa pun yang masuk ke dalam radius jangkauan rana lensanya. Tidak ada batas antara tahanan dan pengawas, karena yang diawasi bukan tahanan melainkan justru orang yang ingin mengamankan dirinya, seperti Big Brother ingin mengamankan kuasanya. Mereka melakukan pengawasan terhadap lingkungan di sekitar rumahnya, di sekitar tempat kerja, atau bahkan di jalan raya yang biasa dilaluinya karena keyakinan bahwa semakin banyak informasi yang bisa diperoleh dari hasil pengawasan tersebut, semakin besar peluang untuk hidup lebih aman setiap hari.

Gedung-gedung perkantoran atau pusat perbelanjaan makin banyak yang memasang Close Circuit Television (CCTV) dan kamera-kamera pengintai tersembunyi di pasang di banyak tempat. Kios-kios Anjungan Tunai Mandiri (ATM) juga dilengkapi dengan teknologi pengawasan yang sama. Kebutuhan akan instrumen-instrumen pengintai yang bisa memberi penggunanya informasi visual mendetail tentang sebuah kondisi pada satu momen waktu tertentu, itu semakin dirasakan mendesak ketika banyak pihak dan kekuatan di dunia sekarang disibukkan oleh upaya menghadapi atau memerangi terorisme yang kekuatan penghancurnya sangat mengerikan itu.

Sekarang kita hidup di zaman kamera (Cam Era). Setiap hari semakin banyak aktivitas yang dikonversikan menjadi data digital melalui kamera. Semua vendor perangkat telepon genggam (handphone) menjadikan kamera digital baik foto maupun video sebagai salah satu fitur standar produknya. Kebutuhan warga masyarakat-masyarakat modern akan rasa aman semacam itu telah melahirkan pula pasar yang cukup besar. Sebuah laporan yang disusun pada bulan Januari 2003 oleh J.P. Freeman, sebuah firma riset pasar keamanan di Newtoen, CT, 26 juta kamera pengawasan (surveillance cameras) telah terpasang di seluruh dunia, dan lebih dari 11 juta di antaranya dipasang di AS. Sementara di London, sebuah kota yang secara sangat ketat terus-menerus dimonitor, seorang kriminolog dari Hull University memperkirakan bahwa rata-rata orang di sana direkam oleh lebih dari 300 buah kamera setiap hari. Belanja terbesar untuk teknologi surveillance tentu saja dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS), bahkan jauh sebelum terjadi katastrofi akibat peledakan menara kembar World Trade Center di New York, 11 September 2001 yang lalu.

Selain kamera, proses pengumpulan digital footprint tentu saja dilakukan melalui bermacam-macam perangkat digital yang sekarang hampir semuanya saling terkoneksi di dalam dunia on-line, ke dalam datasphere. Karena sebagian terbesar para pemakai gawai digital saat ini hampir secara sukarela terus-menerus berbagi berbagai hal dengan sesamanya, tanpa putus, media sosial dan internet telah menjadi lahan tempat sedunia data tersedia. Semua seperti lahan-lahan lapang dengan triliunan ton data yang tertimbun di dalamnya. Seperti yang sudah berabad-abad dilakukan pada kekayaan alam di dalam bumi, untuk mendapatkannya orang hanya perlu menambangnya. Maka berdirilah berbagai perusahaan tambang baru, yang bekerja menambang data setiap detik, tanpa pernah takut akan habis seperti minyak. Ungkapan data is the new oil merujuk bukan hanya pada cara ekstrasinya melainkan juga pada nilai dan harga ekonomisnya di pasar kapitalisme digital.


Karangan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membahas isu di atas dari perspektif human security, melainkan dari perspektif surveillance studies. Ini adalah sebuah pendekatan yang memang belum berkembang luas di Indonesia. Saya akan menguraikan secara lebih lengkap apa yang dimaksud dengan surveillance studies dalam bagian yang tersendiri, sehingga karena itu cukuplah untuk sementara dikatakan bahwa yang menjadi pokok perhatian pendekatan ini, kalau bisa disebut sebuah pendekatan, tidak pada isu bagaimana data bisa digunakan untuk mengantisipasi sebuah kejadian melainkan lebih pada bagaimana data, terutama data personal, dikumpulkan oleh agen-agen sosial tertentu untuk bermacam-macam kepentingan yang seringkali justru bisa menjadi ancaman serius bagi kekebasan umat manusia. Melalui surveillance, orang dicatat, dikategoriasasi, dikontrol bahkan dimanipulasi untuk tujuan-tujuan yang spesifik.

Sampai sebarapa jauh sebenarnya kita bisa mengklaim atau mereklamasi sebuah ruang bagi privasi tentu saja telah menjadi bahan perdebatan panjang seiring dengan beragam invensi teknologi informasi baru. Untuk konteks Indonesia, dalam beberapa tahun belakangan ini, misalnya, kita sudah sangat sering mendengar bahkan melihat bermacam-macam kasus terungkapnya rahasia paling personal dari orang-orang atau pigur publik tertentu baik berupa foto maupun rekaman video. Respon sosial terhadap kasus-kasus semacam itu umumnya berupa penilaian etis dan proses kriminalisasi. Artinya, sambil mengutuknya sebagai gejala kerusakan moral masyarakat, pranata sosial kita meresponnya dengan eksekusi legal pihak kepolisian bagi orang-orang yang rahasianya dipublikasikan itu. Jarang ada, untuk tidak menyebutnya sama sekali tidak ada, yang mempersoalkan kekuatan apa yang telah mendorong (driving force) perkembangan sosial semacam itu. Padahal, dua dekade yang lalu, misalnya, tidak pernah muncul kasus serupa.

Konkretnya, kalau kita kembali pada contoh kasus serangan teroris di bagian awal tulisan ini, perhatian surveillance studies (SS) tidak terutama diletakkan pada relasi antardata dalam sebuah sistem database sehingga bisa dipakai untuk maksud yang spesifik, melainkan lebih pada isu pencatatan rekaman datanya sendiri sebagai terjemahan teknologis paling mutahir dari sistem pengawasan (surveillance) yang sudah berlangsung sangat lama. Kalau Jeremy Bentham dan lantas Foucault melihat konteks historis pengawasan dalam bentuk konkret bangunan-bangunan fisikal seperti penjara, barak militer, atau rumah sakit bahkan sekolah, sekarang kita hidup di zaman ketika data tidak harus memiliki hubungan spesifik dengan tempat fisikal. Telah terjadi proses pemisahan (decoupling) antara data tentang sesuatu dengan tempat aktualnya, karena segalanya senantiasa bergerak. Kalau data tentang para penghuni penjara adalah data tentang orang-orang yang tidak bergerak meninggalkan sebuah tempat fisikal tertentu, data tentang konsumen sebuah kedai kopi dan aktivitas online-nya jelas merupakan data tentang orang-orang yang selalu berpindah-pindah tempat. Karena itu yang dipentingkan bukan bagaimana membuat seklusi terhadap objek yang diawasi, seperti dalam metode panopticon versi Jeremy Bentham, melainkan justru bagaimana menyiapkan sebuah teknologi yang sanggup secara sinambung menyediakan data tentang objek yang terus bergerak tersebut.

Bagi firma-firma yang bergerak dalam usaha penambangan data digital itu, individu sebagai darah dan daging tidaklah menjadi perhatiannya, melainkan sebatas diperlakukan sebagai molekul-molekul yang secara bersama-sama dengan jutaan bahkan miliaran individu-individu lain kemudian menjadi hamparan ladang yang menghasilkan data seperti ladang-ladang pertambangan menyediakan minyak, batubara, gas bumi, dll untuk diekploitasi dan diolah menjadi komoditi. Kalau sudah menjadi komoditi, semua harus diberi perlakukan yang sama agar diperoleh hasil yang memenuhi standar. Karena itu data harus dipisahkan dari produsen aslinya karena ia sekarang telah menjadi hasil produksi firma-firma yang menambangnya.

Sudah tidak ada keterkaitan apa pun antara ujaran-ujaran seorang individu di Twitter, misalnya, dengan si pembuat ujaran karena yang dihasilkan dari proses penyulingan (refinary) adalah hasil agregasi dari ribuan, jutaan, bahkan miliaran ujaran-ujaran lain di Twitter tentang isu-isu tertentu. Karena yang ditambang adalah semata-mata ujaran yang muncul di Twitter, siapa si penuturnya bukan faktor yang diperhitungkan. Semua dianggap anonim belaka. Firma-firma ini kemudian melakukan koding dan klasifikasi untuk memasukkan ujaran-ujaran tersebut ke dalam kerangka-kerangka kategori yang telah mereka tetapkan sendiri. Masing-masing kategori diberi bobot berdasarkan jumlah frekwensi yang muncul dari ujaran-ujaran yang bisa dimasukkan ke dalamnya, dan lantas diranking dengan mengacu kepada jumlah total ujaran yang bisa dikumpulkan (ditambang). Proses-proses tersebut bukan riset melainkan hanya pemilahan dan pengelompokan berbasis algoritma yang telah dibuat sendiri oleh firma-firma tersebut, dan kemudian dipresentasikan secara visual sebagai gambaran dari peta prilaku pengguna Twitter tentang isu-isu tertentu. Apakah data tersebut mencerminkan realitas dalam kehidupan sosial yang empirik tidaklah dianggap penting.

Untuk kebutuhan pengawasan semacam ini, objek hanya dibutuhkan dalam bentuk representasi digitalnya saja, bukan eksistensi fisikalnya. Dengan kata lain, pengawasan dilakukan bukan terhadap fisik seseorang, seperti para sipir mengawasi para tahanan dalam penjara, melainkan pada data digital tentangnya, sehingga karena itu bentuk pengawasan seperti ini bisa dilakukan secara lebih massif dan otomatis. Selama orang menggunakan kartu kredit, mengakses internet, memiliki paspor atau Kartu Tanda Penduduk (KTP), menggunakan telepon bergerak, mencetak foto secara digital di laboratorium komersial, menjadi pelanggan telepon, listrik, membayar karcis jalan tol, atau menjadi anggota sebuah perkumpulan tertentu, selama itu pula data personalnya menjadi representasi yang menggantikan eksistensi fisikalnya untuk terus-menerus diawasi. Mark Poster menggunakan istitlah dataveillance untuk mendepiksikan pergeseran dalam moda dan metode pengawasan dengan pemanfaatan teknik pengumpulan data personal digital melalui berbagai sistem pencatatan sosial.

bersambung….