July 11, 2021 13:03| | Kategori:
Politik | MiniKataMiniKata Koran Cepat Detik
- Hikmat Budiman |
- The Japan Foundation, Jakarta
Salah satu tesis Huntington (1976) tentang partisipasi politik adalah bahwa antara partisipasi yang dimobilisasi, dan partisipasi yang otonom keduanya membentuk sebuah spektrum yang tidak bisa begitu saja dipisahkan secara dikotomis.
Tesis seperti itu menjadi penting, paling tidak menurut saya, karena sejauh ini banyak orang beranggapan bahwa partisipasi politik hanya bisa terjadi bila rakyat melakukannya secara sukarela atau otonom, tanpa paksaan dari pihak lain di luar dirinya. Dengan kalimat lain, partisipasi politik identik dengan sistem politik demokratis. Pandangan seperti itu melahirkan konsekwensi tidak diakuinya segala bentuk partisipasi politik dalam sistem politik yang tidak demokratis. Padahal, kembali mengikuti Huntington, bahkan dalam sistem diktator sekalipun, sampai derajat tertentu, tetap ada partisipasi politik.
Ini akan membawa kita pada pilihan antara, katakanlah, substansi dan penampakan atau antara perspektif “idealis” dan “realis” (kalau dua istilah ini bisa dibenarkan). Kalau mereka yang bersikeras dengan gagasan partisipasi otonom bisa dianggap mewakili kubu idealis, Huntington jelas menjadi juru bicara para realis. Kelebihan Huntington tentu saja karena ia tidak melihat partisipasi politik semata-mata sebagai sebuah
das Sollen melainkan lebih sebagai sebuah
das Sein. Maka tidaklah mengherankan jika Huntington juga sampai pada konklusi bahwa bahkan dalam sistem demokrasi pun, partisipasi politik tetap saja tidak bisa sepenuhnya lepas dari unsur manipulasi dan tekanan.
Persoalannya kemudian adalah, jika partisipasi politik diukur melulu dari apa yang senyatanya terjadi, kita akan kesulitan mengharapkan terjadinya perubahan yang substansial dalam praktek-praktek politik terutama dalam masyarakat-masyarakat yang baru saja ke luar dari belenggu otoritarianisme seperti Indonesia. Cara pandang “realis” memang pasti bukan tanpa kelemahan.
Salah satunya, saya kira, adalah karena pandangan seperti itu cenderung tidak memiliki rekomendasi yang kuat untuk mengatasi status-quo. Apakah tradisi mobilisasi massa dalam praktik politik di Indonesia, misalnya, layak dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik rakyat? Kalau tidak, maka itu artinya kita harus meninggalkan argumen Huntington, dan mencoba melakukan perubahan substansial.
Jakarta, 5 Maret 2002