Kondisi politik Indonesia hari ini pantas membuat kita murung menatap masa depan. Menjelang tahun 2000, seperti halnya di dunia komputer, pada dasarnya kita masih belum lepas dari ancaman millenium bug. Dalam wacana komputer, istilah kutu millenium mengacu pada ketidakmampuan komputer mengelola angka tahun kalender lebih dari dua digit. Tahun 2000 akan diperlakukan sama dengan tahun 1900. Akibatnyal seluruh urusan kacau balau. Dalam wacana politik, itu bisa berarti ketidaksiapan kerangka berpikir kita menghadapi realitas hidup yang makin kompleks dan beragam di zaman baru. Akibatnya, seluruh tatanan bisa ambruk.
Di luar pemerintah, secara kasar ada dua arus besar yang sangat dominan saat ini. Pertama, dorongan sentripetal ke arah demokratisasi. Kedua, dorongan sentrifugal yang justru anti-demokrasi. Yang pertama inklusif dan pluralis, sedangkan yang kedua cenderung eksklusif dan parokial.
Bagi yang pertama agama adalah salah satu sumber etik kekuasaan, bagi yang kedua agama adalah ideologi dan sumber sekaligus alat kekuasaan itu sendiri. Kalau yang pertama mengajak orang untuk kembali menemukan bangsa dalam kemajemukan, yang kedua justru berbalik ke satuan kecil seperti agama untuk meraih kekuasaan. Dalam konteks politik sekarang, yang pertama berusaha memelihara jarak kritis dengan kekuasaan, yang kedua malah menjadi elemen pendukung rezim penguasa.
Keduanya jelas berhak hidup dalam demokrasi. Soalnya kemudian adalah karena demokrasi tidak bisa disandarkan pada sikap eksklusif. Demokrasi bukan hanya dicirikan oleh pemilu, melainkan terutama oleh kesediaan mendengarkan suara orang lain. Stalin, Hitler bahkan Soeharto juga punya pemilu, tapi di bawah ketiganya tidak ada demokrasi. Demokrasi tidak kompatibel dengan corak berpikir model dua digit: yang benar adalah “yang sama” denganku, di luar itu hanya “yang lain”, nonsense.
Sebagai muslim saya, misalnya, tidak bisa lagi berpikir oposisi biner antara muslim dan bukan muslim. Sebentar lagi kita akan masuk pasar bebas ekonomi dan kultural. Realitas tahun 2000an tdak bisa disikapi sama seperti realitas kurun 1990an. Kegagalan kita menyikapi kompleksitas dan keragaman realitas baru itu bukan mustahil akan menghasilkan petaka kemanusiaan.
Beberapa kasus kerusuhan kemarin, jelas memperlihatkan bagaimana pola pikir usang tadi masih mudah berubah jadi sumber legitimasi (religius) untuk menghancurkan. Orang bisa membunuh, membakar tempat ibadah agama lain karena hal sepele yang tidak ada kaitannya dengan soal agama. Ini bukan saja bukti potensi manipulasi agama untuk tujuan politis, tapi juga satu indikasi awal dari ketidaksiapan kita memasuki millenium baru.
Dalih tentang adanya provokator sebagai pemicu konflik, justru memperlihatkan kenyataan busuknya kondisi masyarakat kita sekarang. Sebuah masyarakat yang gampang dideterminasi untuk melakukan tindakan-tindakan di luar keinginannya, ia pasti tengah dihantam krisis rasionalitas yang sangat parah. Ia menyerah kepada satu kekuatan dari luar, dan tidak lagi memakai akal sehat untuk menjustifikasi apa yang harus dilakukannya.
Banyak orang tiba-tiba melompat pada justifikasi religius untuk hal-hal yang mustinya diselesaikan dengan rasio. Akibatnya, semua orang terseret habis ke jurang absurditas yang menyedihkan. Karena akal sehat telah dikuburkan, yang tampil ke depan hanya rentetan panjang kekerasan. Sejarah seperti ditarik mundur ke zaman jahiliyah. Satu zaman ketika hidup melulu didasarkan pada buruk sangka dan kebencian.
Kondisi seperti itu, antara lain, disebabkan oleh tersumbatnya saluran-saluran penyelesaian konflik secara rasional. Selama Orde Baru kita tidak pernah dididik menghadapi perbedaan sebagai peluang untuk memajukan kehidupan sosial. Kebijakan SARA, misalnya, tidak dimaksudkan untuk mengelola potensi konflik secara tuntas, melainkan bagaimana agar di antara perbedaan itu tidak pernah terjadi komunikasi simetris.
SARA justru jadi batas yang secara definitif menjaga benih konflik tadi tetap terpelihara. Melalui konsep ini Orde Baru telah menjalankan sebuah politik pemeliharaan ketegangan sosial. Upaya ini ditopang oleh penekanan atas stabilitas nasional dan pendekatan keamanan. Konflik tidak pernah dikelola terbuka, melainkan sengaja dipelihara dan ditutup rapat dengan ancaman-ancaman disintegrasi nasional.
Politik SARA, dengan demikian, telah secara sangat rapi menyembunyikan pelbagai manipulasi politik. Hasilnya adalah sebuah pseudo harmony yang gampang sekali dibuat meledak. Kalau ini terus dipertahankan, pada pergantian millenium baru nanti kita hanya akan menemukan kiamat politik nasional.
Ironisnya, kutu millenium bukan hanya menginfeksi pikiran rakyat kecil tapi juga kepala sebagian elit keagamaan kita. Beberapa pemuka Islam, misalnya, masih banyak yang berpikir bahwa realitas hanya terdiri dari Islam dan bukan Islam. Kesan yang muncul kemudian adalah tentang masih besarnya rasa terancam mayoritas muslim oleh yang bukan muslim. Tapi bukankah rasa terancam adalah satu indikasi inferioritas? Saya tidak yakin kaum muslim hanya segerombolan besar massa yang hidup dengan kompleks-rendah-diri sebagai pegangan hidup.
Millenium bug dalam industri konon akan menghabiskan US$600 milyar di seluruh dunia. Mellenium bug dalam politik kita pasti akan melahap biaya jauh lebih besar. Sebab bukan hanya uang yang musti dikorbankan, melainkan bahkan nyawa. Yakni ketika agama menjadi ideologi kekuasaan yang membuat orang mudah beringas, dan melulu mengandalkan pedang. Bukan akal sehat. Sejarah telah banyak mengajari kita tentang besarnya petaka yang timbul ketika umat beragama terlampau terobsesi oleh ideologi kekuasan.
Ketika akal sehat berhenti, pilihan yang tersisa hanya api. Bukan demokrasi.