A(nti) Social Network

Sosiologi



Share


Blog Picture

Sampai hari ini saya masih sering bingung melihat orang yang membawa bukan satu tapi dua bahkan tiga telepon genggam sekaligus. Tapi rupanya jumlah handphone yang dibawa bisa menjadi petunjuk awal tentang kehidupan seseorang dalam jaringan sosialnya. Makin luas dan kompleks jaringan sosialnya, makin besar keharusan memiliki lebih dari satu handphone. Mereka yang membawa handphone lebih dari satu karena punya yang baru dan enggan membuang yang lama juga tetap termasuk ke dalam kategori ini. Kalau tidak, mengapa tidak ditinggal di rumah?

Dalam jaring-jaring sosial yang rumit, dunia tentu saja jadi semakin berisik. Bayangkan saja ruas-ruas jalan yang lintangpukang di kota-kota yang ramai dan padat. Setiap jaringan menghasilkan bunyinya sendiri: Blakberry Messanger (BBM) menghasilkan bunyi pengingat yang berbeda dari short messaging system (SMS), yang juga berbeda dengan Yahoo Messanger (YM) atau Twitter, dan seterusnya. Hampir dalam setiap rendevous dengan kawan lama di kedai-kedai di Jakarta, misalnya, perbincangan kami selalu diinterupsi oleh bunyi-bunyi tersebut, dan momen-momen intersubjektif kami dikacaukan. Saya seperti selalu masuk ke dalam sebuah dunia yang memang semarak tapi juga norak.

Anda juga pasti pernah merasa diabaikan kawan karena ia lebih sibuk memeriksa status Facebook pada handphone daripada ngobrol dengan Anda.

Ngobrol adalah tradisi lisan yang dulu dilecehkan sebagai aktivitas membuang waktu dan tidak produktif. Padahal ngobrol memberi semacam jaring sosial pengaman posisi seseorang di tengah lingkungan sosialnya. Kalau tidak ada tradisi ngobrol, kesulitan ekonomi seperti saat ini akan membuat jumlah orang sakit jiwa bertambah banyak. Sekarang orang banyak yang lebih suka ngobrol bukan dengan karib di dekatnya, tapi dengan seseorang yang entah di mana tempatnya secara aktual. Teknologi media jaringan sosial seperti mengubah orang menjadi anti-sosial terhadap lingkungan terdekatnya. Terjadi pemisahan (decoupling) antara ruang sosial dengan tempat aktualnya.

Saya beberapa kali bertemu dengan orang yang tidak bisa lepas dari jaringan sosial semacam itu. Mereka bisa berceloteh melalui Twitter setiap menit sepanjang hari, siang malam, tapi masih juga punya waktu untuk BBM-an. Saya kagum dengan dedikasinya kepada jaringan sosialnya, tapi terutama kepada disiplin pengelolaan waktunya: kapan dia bekerja atau bercinta dengan pasangannya? Secara teknologis itu memang soal mudah, karena satu perangkat telepon cerdas (smartphone) bisa melakukan semuanya. Tapi secara biologis bagaimana mengaturnya? Tidakah itu berarti tubuh kita dipaksa dengan pola disiplin baru?

Sekitar tahun 1994 yang lalu, saya pernah menulis bahwa karena teknologi informasi orang bisa memiliki pengalaman yang dekat dengan orang-orang di luar benua tapi tidak sempat kenal dengan tetangga di depan rumahnya. Waktu itu internet masih barang mahal. Facebook belum lahir bahkan dalam khayalan Mark Zukerberg sekalipun. Tapi bahkan waktu itu pun, anak-anak SD di Gunung Kidul bisa hafal nama-nama pemain Liga Inggris tapi tidak tahu siapa nama Camat atau Bupatinya.

Alixia Tsotsis menulis sebuah artikel menarik di situs TechCrunch, 25 Juli 2011. Judulnya, “Technology is the New Smoking”. Dia mengutip hasil riset konsumen yang dilakukan oleh Intersperience di Inggris: 53% konsumen merasa marah kalau aksesnya ditolak, dan 40% merasa kesepian kalau tidak bisa online. Beberapa konsumen mengatakan bahwa bagi mereka, berhenti menggunakan teknologi yang memberi akses internet sama beratnya dengan berhenti mengkonsumsi minuman beralkohol dan berhenti merokok.

Sebagai seorang perokok, saya bisa merasakan kesulitan mereka. Tapi tidak semua kecanduan harus dihapuskan tampaknya. Bahkan mereka yang percaya Marx bahwa agama adalah candu, tidak banyak yang secara terbuka meminta agama dihapuskan. Sementara kampanye anti-rokok makin luas, tidak ada kampanya serupa soal teknologi jaringan sosial misalnya. Karena itu, kejadian di Depok yang diberitakan Kompas Online (8/8/2011), tentang peringatan bahaya Facebook yang ditulis pada papan nomor rumah warga jadi sangat penting. Bunyi persisnya: “Waspadailah bahaya narkoba dan Facebook”.

Kita bisa saja sinis dan menganggap peringatan semacam itu moronik. Tapi sinisme seperti itu juga bisa muncul dari para perokok kalau anjuran waspada bahaya merokok dipasang pada papan normor rumah warga. Kalau bahaya merokok sudah terbukti melalui beberapa riset ilmiah, bukankah bahaya dari teknologi juga sudah banyak dibuktikan dalam sejumlah riset yang sama-sama ilmiah? Tapi bukankah Facebook dan Twitter telah berjasa menggulingkan rezim-rezim otoriter di Timur Tengah. Ini tentu saja argumen yang menyenangkan tapi banyak bolongnya. Sama bolongnya dengan argumen bahwa kalau industri rokok ditutup perekonomian Indonesia bisa bankrut. Keduanya sama-sama mengabaikan sarat-sarat sosial sebuah perubahan politik dan ekonomi bisa terjadi.

Menanggapi tulisan Tsotsis di atas, seorang perempuan, Anna Jane Grossman, tgl 10 Agustus 2011, menulis “To Live Deep and Suck Out All the Marrow of Life, A Smartphone Is Worse Than a Cigarette” pada situs Motherboard. Menurutnya, merokok masih lebih baik daripada menggunakan smartphone. Ada dua belas alasan menarik (dan lucu) yang ditulis Grossman, dan saya akan menyadur enam di antaranya saja:

Pertama, rokok bisa membantu pengisapnya berinteraksi dengan orang lain. Perokok bahkan kadang dipaksa untuk berinteraksi dengan orang lain ketika harus meminjam pemantik api, “maaf, bisa pinjem koreknya?”. Ada yang pernah meminjam handphone kepada orang yang belum dikenalnya untuk mengecek status Facebook?

Kedua, merokok lebih akuntabel. Semua pecandu rokok tahu berapa batang atau bungkus rokok yang dihabiskannya setiap hari. Coba tanya pecandu Twitter, berapa twit yang disemburkannya setiap hari ke jejaring online.

Ketiga, perokok lebih jujur. Kalau Anda merokok orang lain bisa jelas melihatnya, dan sehabis merokok Anda akan tercium bau rokok. Tidak bisa disembunyikan. Tapi kalau sekretaris Anda berhenti sesaat dari pekerjaannya untuk melihat pesan Facebook di handphone-nya, tidak ada yang tahu pesan apa yang telah dilihatnya.

Keempat, kalau Anda membeli rokok, paling tidak Anda tahu bahayanya karena ada label peringatan dari kementrian kesehatan. Tidak ada label peringatan bahaya pada handphone. Orang-orang tua sekarang bahkan banyak yang memberikan Blackberry kepada anak-anaknya yang masih SD.

Kelima, tidak ada orang yang bisa mencuri password nikotin Anda, dan Google atau Apple tidak bisa menggunakan GPS pada batang kretek untuk melacak Anda.

Keenam, kalau habis berhubungan intim dengan pasangan, masih jauh lebih seksi menyalakan rokok daripada menyalakan handphone.

Sebagai perokok saya tentu saja banyak mendapat pembenaran dari tulisan Grossman tadi. Tapi ada satu soal yang lebih serius. Di luar fungsi dan manfaatnya membuat kesalingterhubungan antar individu tanpa hambatan fisikal, kecanduan orang pada bentuk-bentuk komunikasi melalui teknologi informasi juga memperlihatkan dorongan kuat untuk memperoleh kesenangan serentak (immediate gratification). Orang jadi cenderung tidaksabaran dan ingin segera mendapatkan hasil. Secara cepat kita mulai makin kehilangan kemampuan untuk menunda kesenangan. Tidak ada penghargaan pada jeda, padahal jeda dibutuhkan agar otak kita tetap bisa bertahan remaja. Mungkin karena itu saya sering melihat orang sekarang cenderung lebih mudah panik karena hal-hal remeh temeh.

Kita akan semakin sering melihat orang yang tampak demikian lelah di penghabisan hari. Bukan karena pekerjaan fisik yang berat, tapi terutama karena terus-menerus beraktivitas di jejaring sosial online, sambil menunggu kemacetan kota mereda atau justru sebagai pelarian dari kebosanan pekerjaan di kantor. Sampai di rumah, makin kecil kemungkinan bisa diajak melakukan ronda atau bersih-bersih kampung sambil menghisap rokok. Kalau sudah begini, mulailah dicari-cari alasan: ronda itu kan peninggalan Orde Baru, urusan keamanan kan harusnya diurus oleh negara; kerja bakti di kampung itu kan cermin masyarakat agraris, dan seterusnya. Dalam hitungan detik omelan sejenis itu sudah di-share di jejaring sosial online via Twitter atau Facebook. Perkara sepele jadi tampak terlalu serius. Dan itu artinya hilang pula sebagian ruang dan waktu untuk menjadi mahluk sosial di dunia yang konkret.