Ketika pertama kali membaca beberapa teori pembangunan pada akhir dekade 1980an sampai tahun-tahun awal dekade 1990an, di lingkungan universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, waktu itu saya langsung dihadapkan pada dua kutub pendekatan yang bukan hanya berbeda melainkan bahkan bertolakbelakang satu dengan yang lain: pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Dalam kaitannya dengan problem pembangunan di Indonesia, misalnya, kalau yang pertama lebih kurang berurusan dengan wilayah mental world yang dianggap tidak atau belum sesuai dengan tuntutan modernisasi, yang kedua lebih kurang berurusan dengan wilayah di luar mental, structural constrainst, yang membuat potensi masyarakat untuk berkembang selalu terhambat.
Salah satu acuan literatur yang banyak dikutip oleh para penganut pendekatan kultural waktu itu adalah karya Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1974). Buku ini berisi kumpulan artikel penulisnya yang pernah dimuat di harian Kompas sepanjang tahun 1971 dan 1974. Sambil memperlakukan kebudayaan dengan pendekatan value-judgement, salah satu tesis utama buku tersebut pada dasarnya adalah tentang budaya tradisional sebagai sebuah counter-concept budaya modern. Koentjoroningrat, generasi pertama antropolog Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi di Yale University Amerika Serikat (1956), melalui serangkaian artikel programatiknya tersebut seolah sedang menjadi seorang juru bicara dari sebuah zaman baru, zaman modern, dengan luapan antusiasme. Bahwa untuk berhasil melakukan proses modernisasi (pembangunan) dibutuhkan transformasi nilai-nilai tradisional menjadi sebuah sistem nilai modern. Tradisionalitas, dengan kalimat lain, menjadi sebuah “other” dalam pandangan intelektual Indonesia sampai dekade 1970an berakhir.
Alternatif terhadap gagasan-gagasan Koentjoroningrat tentang modernisasi yang paling banyak dikutip sejak dekade 1980an adalah pemikiran Arief Budiman. Berbelok tajam dari tradisi psikologi UI di masa muda ke sosiologi setelah menyelesaikan pendidikan di Harvard University (1980), bersama dengan Sritua Arief dan Adi Sasono, untuk menyebut beberapa nama, Arief Budiman menjadi peletak dasar pendekatan-pendekatan struktural atas problem pembangunan dan politik di Indonesia. Alih-alih menghadapi kebudayaan sebagai sebuah kawasan nilai-nilai yang diasumsikan sebagai determinan utama keberhasilan atau kegagalan pembangunan di Indonesia, para penganut pendekatan struktural lebih memfokuskan kajiannya pada kondisi ketergantungan yang menghasilkan keterbelakangan masyarakat Indonesia. Untuk konteks telaah tentang akar kemiskinan, misalnya, waktu itu berkembang perdebatan tentang apakah yang terjadi pada dasarnya merupakan budaya kemiskinan atau lebih merupakan kemiskinan struktural.
Pada level paradigmatik, dua pendekatan tersebut merupakan derivasi dari dua paradigma yang bersaing keras sejak dekade 1960an: modernisasi dan dependensi. Kalau secara sederhana paradigma modernisasi bisa dianggap sebagai pendekatan yang mendasarkan diri pada Amerika dan negara-negara Eropa Barat paska Perang Dunia II sebagai model, paradigma dependensi mencoba mengangkat partikularitas negara-negara dunia ketiga, terutama negara-negara Amerika Latin, sebagai pijakan bagi serangan-serangan kritisnya terhadap trajektori pembangunan a la modernisasi Eropa-Amerika.
Buku Teori Pembangunan dan Tiga Dunia (TPTD) karya Björn Hettne(2001), dalam banyak hal, seolah merangkum ulang perdebatan teori-teori pembangunan dari dua paradigma utama yang dulu pernah menjadi wacana dominan dalam perkembangan teori-teori sosial di Indonesia sepanjang dekade 1980an. Mereka yang telah lama akrab dengan beberapa pendekatan teoritis terhadap pembangunan pasti tidak akan menemukan banyak hal baru dalam buku yang terbit pertama kali tahun 1990 ini. Walaubagaimana TPTD bukanlah buku baru, translasinya ke dalam bahasa Indonesia terlampau terlambat di zaman ketika serbuan informasi begitu melimpah saat ini. Gagasannya untuk membuang paradigma modernisasi yang evolusionistik dan deterministik, dan harapannya bagi gagasan paska modern tentang teori pembangunan yang bebas dari teleologi (hlm., 133), misalnya, mungkin cukup segar di awal dekade 1990an tapi akan terkesan cukup membosankan untuk tahun 2002 saat ini.
Pada seluruh Bab 2 dan bab 3 karyanya tersebut Hettne, misalnya, melalui penulusuran peta pemikiran yang cukup teliti, mencoba menghadirkan sebuah gambaran tentang apa yang mungkin cukup aman disebut imperialisme intelektual di dunia di satu pihak, dan munculnya beberapa kecenderungan ke arah emansipasi di negara-negara dunia ketiga yang mencoba melepaskan diri dari penjajahan intelektual tadi di pihak lain. Kalau dalam Bab 2 Hettne memfokuskan deskripsinya pada bagaimana gagasan-gagasan tentang kemajuan dan pertumbuhan menyebar dari sebuah hulu di Eropa (atau mungkin lebih tepat Amerika Serikat sebenarnya) ke seluruh dunia, pada Bab 3 ia lebih berkonsentrasi pada uraian tentang bagaimana respon oposisional kelompok intelektual dunia ketiga terhadap gagasan-gagasan modernisasi, sambil pada saat yang sama juga berusaha memperlihatkan beberapa perubahan terjadi pada institusi-institusi sosial masyarakat dunia ketiga sebagai akibat dari penyebaran dan implementasi gagasan-gagasan tentang kemajuan dan pertumbuhan eropasentrik di belahan dunia yang lain.
Dalam beberapa hal Hettne ingin menunjukkan bahwa pelbagai bentuk perubahan tersebut mengarah pada pengukuhan cengkeraman imperialisme intelektual Eropa dan Amerika. Berbeda dengan tempat asalnya di Eropa yang berfungsi sebagai instrumen reproduksi intelektual, institusi modern pendidikan tinggi di negara ketiga, misalnya, bergeser menjadi instrumen pembangunan kapitalis (hlm., 142). Tapi pada saat yang sama Hettne juga mencatat reaksi balik segelintir elit intelektual negara-negara dunia ketiga ketika mereka mulai mengembangkan beberapa pendekatan pembangunan alternatif yang bukan saja berbeda dengan melainkan bahkan menolak Eropa dan Amerika Utara sebagai model. Berakar pada tradisi studi Marxis dan pemikiran strukturalis Amerika Latin dalam menganalisa pembangunan yang kemudian menjadi dasar formatif bagi ECLA (Economic Commission for Latin America), dan tradisi panjang nasionalisme ekonomi emansipasi intelektual dunia ketiga memuncak dalam formulasi teori ketergantungan sebagai penyebab keterbelakangan. Dari sini Hettne kemudian mengajak pembaca untuk kembali menelusuri silang-gagasan di antara beberapa nama seperti Andre Gunder Frank, Cardoso (sekarang presiden Brasil), Dos Santos, atau O’ Donnel yang sangat terkenal dalam tradisi pendekatan dependensia sampai awal dekade 1990an.
Pribumisasi Ilmu Sosial, Mungkinkah?: Pelajaran Moral dari Hollywood
Salah satu gagasan terpenting Hettne yang mungkin masih cukup menggoda secara intelektual saat ini adalah tentang usaha untuk memutus rantai imperialisme intelektual melalui apa yang ia sebut “pribumisasi teori pembangunan”. Sebab bagi Hettne, jalan paling radikal untuk menghentikan imperialisme akademis adalah dengan, untuk memparafrasekan kalimat Hettne, mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh konsep yang berasal dari Barat dan mencoba membangun konsep baru dan aliran pemikiran yang independen dan berakar pada konteks historis (hlm., 177). Pada akhir dekade 1980an yang lalu gagasan pribumisasi teori memang sempat berkembang menjadi pokok diskusi yang cukup ramai di Indonesia.
Problemnya kemudian adalah apakah gagasan pribumisasi tersebut mungkin dan perlu secara konseptual? Pertanyaan berikutnya, bisakah ia diaplikasikan secara sosial?
Dalam TPTD selain menguraikan kembali premis-premis dasar teori ketergantungan Hettne juga mencoba membaptis teori pengurasan (drain theory) yang dikembangkan oleh Naoroji di India sebagai pelopor pribumisasi teori pembangunan. Pada level praksis, gerakan-gerakan non-kooperatif seperti swadeshi yang dianjurkan oleh Gandhi di India menjadi contoh menarik tentang kemungkinan untuk menolak modernisasi melalui gerakan penguatan potensi-potensi produksi lokal.
Membaca Bab 2 dan Bab 3 buku Hettne terutama gagasannya tentang “pribumisasi” telah membawa saya pada ingatan tentang sebuah film produksi Hollywood yang dulu pernah sangat terkenal di seluruh dunia, Dances With Wolves (DWW). Pada sekitar tahun-tahun awal dekade 1990an, publik penonton film di beberapa kota besar di Jawa dipukau oleh film yang karakter utamanya, kalau tidak salah semula bernama Kapten John Dunbar, diperankan oleh Kevin Costner tersebut. Meskipun saya tidak bisa lagi mengingat detail alur ceritanya, tapi secara garis besar DWW kira-kira berkisah tentang bagaimana seorang bekas anggota pasukan tentara Amerika berbalik membela orang-orang Indian yang semula hendak ditumpasnya. Dunbar sendiri akhirnya secara total berganti identitas menjadi orang Indian, dan namanya diubah didasarkan pada impresi pertama orang-orang Indian terhadapnya menjadi “Menari Bersama Srigala”.
Lepas dari adegan-adegan dalam filmnya sendiri, secara semiotis judul DWW sebenarnya juga menyembunyikan sebuah moral di balik alur cerita film tersebut. Sadar atau tidak si penulis naskah telah membuat sebuah distingsi antara subjek yang menari, yakni orang kulit putih bernama asli John Dunbar, dan gerombolan srigala yang liar yang secara ideologis pada dasarnya mencerminkan cara orang-orang kulit putih merepresentasikan orang-orang Indian: barbar, liar, brutal seperti kawanan srigala yang harus dilumpuhkan.
Ketika Dunbar berubah menjadi orang kulit putih pertama yang begitu gigih melawan tentara Amerika yang hendak menumpas kaum Indian kisah tersebut jadi tampak sangat ikonis: bahwa betapa pun buruk citra orang-orang kulit putih di film tersebut, yang tampil sebagai pahlawan akhirnya tetap saja orang dari ras yang sama. Film tersebut tidak memperburuk malahan semakin mengukuhkan citra kulit putih sebagai “yang baik”, pahlawan pembela kaum lemah dari penindasan betatapun penindasan itu dilakukan oleh mereka sendiri. Orang-orang Indian sendiri muncul hanya menjadi sebuah latar belakang yang begitu lemah berhadapan dengan kekuatan agresor kulit putih, sedemikian rupa lemahnya sehingga mereka hanya bisa melakukan perlawanan yang berarti ketika sudah dibantu oleh orang dari ras musuhnya sendiri.
Posisi kategoris Dunbar dalam film DWW tampak serupa dengan peran-peran yang coba dimainkan oleh kaum intelektual kritis yang menggeluti isu-isu pembangunan di dunia ketiga. Hampir semua intelektual terkemuka dunia ketiga merupakan orang-orang yang menempuh sistem pendidikan modern di Eropa atau Amerika Utara. Mereka adalah orang-orang asing di negerinya sendiri, sama asingnya dengan Dunbar dalam kalangan kawanan orang-orang Indian. Pribumisasi pada dasarnya adalah proses melalui apa orang-orang asing itu dituntut atau berusaha dengan kesadarannya sendiri untuk secara kritis mendialogkan referensi intelektualnya dengan kenyataan historis negerinya.
Hasilnya, sama seperti Dunbar yang kemudian berubah total melawan tentara Amerika yang membesarkannya, beberapa orang intelektual dunia ketiga kemudian berbalik menjadi penentang paling gigih gagasan dan program-program pembangunan industri kapitalis yang telah menyuburkan bakat-bakat intelektualnya. Ini persis sama dengan strategi Politik Etis Belanda yang kemudian melahirkan pelopor-pelopor intelektual gerakan kemerdekaan Indonesia di awal abad 20 yang lalu. Di balik semua itu satu hal tidak berubah: yang baik, yang jadi pahlawan tetap saja orang-orang kulit putih Eropa dan Amerika Utara. Ini akan mengingatkan kita pada kisah tragis tokoh Minke (Tirto Adisoeryo?) dalam opus magnum Tetralogi Buru-nya Pramoedya Ananta Toer.
Untuk konteks Indonesia, sejak pertengahan dekade 1990an, tanpa alasan-alasan yang jelas perdebatan tentang teori-teori pembangunan di kalangan para teoritisi sosial berangsur-angsur mulai surut. Ketika krisis moneter dan ekonomi terjadi sampai hari ini, semua kritik ilmu sosial ditujukan pada kekeliruan kebijakan pembangunan modernisasi tapi tanpa satu pun yang bisa memberikan solusi yang cukup meyakinkan. Cardoso di Brasil atau Abdurrahman Wahid di Indonesia, dua kritikus pembangunan kapitalis yang disegani pada masanya, tidak satu pun yang bisa keluar dari jerat ketergantungan ketika keduanya sama-sama diberi peluang lebih besar untuk mewujudkan ide-idenya dalam bentuk kebijakan politik.
Tampaknya Hettne pun menyadari bahwa meskipun cukup menantang, gagasan pribumisasi macet pada dekade 1970an bukan hanya karena berkurangnya minat intelektual melainkan juga karena ia kehilangan relevansi sosialnya di tengah zaman yang sudah berubah. Sebuah dilema yang sulit dipecahkan dalam tradisi sosiologi pembangunan sampai saat ini adalah antara ketidakmemadaian teori ketergantungan dan ketidaksanggupan lepas dari ketergantungan teori(tis) yang diderita kaum intelektual dunia ketiga. Hettne sendiri persis berada di tengah dilema tersebut.
Referensi
Arief, Sritua, dan Adi Sasono, Ketergantungan dan Keterbelakangan, Sebuah Studi Kasus. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1984
Budiman, Arief. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995
Budiman, Arief. Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia. Gramedia, Jakarta, 1989
Hettne, Björn, Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Gramedia, Jakarta, 1987