Kalau segalanya berjalan sesuai rencana, dua peristiwa besar akan mendominasi politik di Indonesia pada tahun 2014, yakni pemilihan umum (pemilu) legislatif pada tgl. 9 April 2014, dan pemilu presiden/wakil presiden pada bulan Juli 2014. Daftar pemilih tetap (DPT) nasional yang dikeluarkan komisi pemilihan umum (KPU) mencatat ada 186.172.508 jumlah penduduk dengan hak pilih (Kompas. Com, 20/2/2014), yang akan diperebutkan oleh para kandidat dan, ini yang paling mencemaskan sebagian orang tapi menyenangkan sebagian yang lain, triliunan rupiah dana yang akan beredar dan dihabiskan oleh seluruh pihak baik individu maupun institusi untuk membiayai seluruh kebutuhan dan tahapan penyelenggaraan dua pemilu raya tersebut. Di luar itu, paling tidak sampai tahun 2019 yang akan datang, dalam rentang lima tahun di Indonesia berlangsung ratusan pemilihan umum daerah pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Demokratisasi selama 16 tahun ini telah menjadikan Indonesia salah satu negeri paling sibuk di dunia dengan pemilihan umum.
Pemilu nasional adalah sebuah momentum politik untuk membentuk perasaan bahwa menjadi “orang Indonesia”, paling tidak sekali setiap lima tahun, lebih utama daripada menjadi orang Melayu, orang Kristen, Islam atau orang Jawa. Tapi cara-cara promosi diri para kandidat, kecenderungan prilaku pemilih, dan faktor gigantisnya dana yang dihabiskan baik oleh negara maupun masing-masing kandidat memberi impresi kuat bahwa pemilu dalam praktiknya lebih tampak sebagai penciptaan sebuah pasar politik (political marketplace) daripada upaya bersama warga negara untuk memelihara kehidupan kolektif sebuah komunitas politik. Dengan begitu banyak kepentingan untuk mendapatkan keuntungan di satu sisi, dan ribuan kandidat yang bersaing mendapatkan dana di sisi lain, pemilu menjadi pasar tempat berinvestasi yang sangat kompetitif dengan prinsip-prinsip investasi yang lebih kurang mirip dengan pasar ekonomi pada umumnya (Ansolabehere, de Figueiredo, dan Snyder Jr., 2003: 109). Lantas di mana tempat warga negara sebagai pemilih yang melakukan tindakan politik dalam bentuk memilih dalam pemilihan umum yang sudah sedemikian rupa ditransformasikan menjadi sebuah pasar politik ini?
Konsumen dan Warga Negara
Meskipun belum tentu sepenuhnya benar, tapi untuk menyederhanakan persoalan, dalam konteks pemilihan umum di Indonesia paling tidak, kita bisa memulainya dengan membedakan warga konsumen dengan warga negara. Sebagai konsumen semestanya adalah pasar, sedangkan sebagai warga negara semestanya adalah masyarakat politik atau negara. Di dalam pasar kita memilih (to choose) sedangkan di dalam bilik suara pemilu kita memberikan suara (to vote). Di pasar kita bertransaksi, sedangkan di dalam kolektivitas politik kita lebih suka menggunakan istilah berpartisipasi. Yang membingungkan adalah sementara secara ideal pemilu dirancang sebagai salah satu upaya pemenuhan tugas kewarganegaraan, yang paling sering dibicarakan justru adalah soal politik transaksional. Ini persis seperti ungkapan yang sering dipakai bahwa “consumers vote with their money”. Jika demikian maka dalam prakteknya, distingsi antara konsep tentang konsumen dan warga negara cukup sulit dipertahankan.
Pemilu sebagai pasar politik tidak membedakan apakah seseorang memilih kandidat sebagai sebuah tindakan politik atau sebagai sebuah aktivitas konsumsi. Tidaklah mengherankan kalau salah satu cara yang banyak digunakan untuk berkampanye adalah juga cara yang biasa dipakai dalam pemasaran barang-barang konsumi, yakni iklan. Sebuah acara di salah satu stasiun TV baru-baru ini malah menggambarkan bagaimana sebagian politisi menyewa perempuan-perempuan cantik yang mereka sebut SPG, singkatan dari “sales political girls”, untuk mempromosikan sang calon, seperti para SPG (sales promotion girls) menawarkan rokok di jalan-jalan, atau mobil pada sebuah pameran otomotif. Sudah banyak pula diketahui bahwa dana yang dibutuhkan untuk menjadi seorang calon anggota legislatif di tingkat pusat, misalnya, bisa mencapai miliaran rupiah. Dengan cara kampanye/promosi dan pengeluaran biaya sangat besar seperti itu, tidak perlu studi mendalam untuk mengetahui apakah motivasi utama orang mencalonkan diri dalam sebuah pemilu adalah untuk berkontribusi pada upaya membangun kebaikan bersama ataukah terutama untuk mencari keuntungan ekonomis.
Daniel Dhakidae (2013) menunjuk bankrutnya kepemimpinan nasional pada era setelah Orde Baru Suharto, yang kemudian digantikan oleh kekuatan pasar sebagai satu-satunya kekuatan yang paling berwibawa dan menentukan nasib semua orang, itu sebagai penjelas terjadinya pergeseran radikal warga negara menjadi konsumen.
Saya sering diganggu oleh sebuah pertanyaan sederhana mengapa seseorang harus merepotkan dirinya sendiri dengan ikut memilih dalam pemilu raya seperti yang akan berlangsung bulan April dan Juli 2014 nanti? Satu hak suara yang saya miliki, misalnya, mungkin sama sekali tidak akan ada pengaruhnya dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemenang, sehingga sebagai seorang yang merasa makhluk rasional, saya sering bertanya untuk apa saya membuang-buang waktu datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan memilih satu dari sekian banyak kandidat yang tidak satu pun saya kenal secara personal. Lebih dari itu, kalau pun telah terpilih bukankah mereka hanya menjadi segerombolan orang yang sibuk mewakili kepentingan diri dan kelompoknya dan bukan pemilihnya?
Nordholt (2008: 18) mengingatkan bahwa demokrasi elektoral sendiri tidak menjamin berlangsungnya demokratisasi sistem politik. Dalam kondisi yang ada saat ini, paling hebat ia hanya akan meneguhkan demokrasi patrimonial dalam apa para pemimpin menggunakan pemilu untuk memperkuat kekuasaannya, dan sebagai imbalannya para pengikut berharap mendapatkan akses pada sumber kekayaan negara. Sementara itu, disilusi terhadap politik tampaknya terus meningkat. Tapi meskipun kecenderungan partisipasi pemilih terus menurun dalam tiga kali pemilu terakhir, pada hampir setiap pemilu di Indonesia total persentase warga negara yang ikut memilih dalam pemilu selalu lebih besar daripada yang tidak. Di era otoritarian Orde Baru hal ini bisa saja dirujuk kepada bentuk-bentuk pemaksaan yang boleh jadi dilakukan oleh negara kepada penduduk. Tapi di era demokratisasi saat ini, tingkat keikutsertaan warga negara dalam pemilu yang cukup tinggi tersebut mungkin saja karena alasan yang berbeda.
Kalau saya menggunakan kalkulasi cost-benefit ratio, misalnya, para pemilih yang datang berduyun-duyun ke TPS itu dapat saja diinterpretasikan sebagai kelimun orang-orang “irrasional”, sama irrasionalnya dengan prilaku konsumtif orang yang antre berduyun untuk b isa membeli telepon genggam seharga Rp.10 juta padahal gaji bulanannya hanya Rp. 4 juta. Tapi jumlah nominal Rp. 10 juta itulah yang akan memberi seseorang sebuah rasa sebagai warga dari, katakanlah, komunitas gadget connoisseur, dan pergi ke TPS dalam sebuah pemilu raya, dengan demikian, bagi sejumlah sangat besar orang adalah aktivitas yang memberi mereka sebuah rasa sebagai “warga negara Indonesia yang baik dan bertanggungjawab”. Ada semacam “emotional appeal” seperti eksklusivitas yang mendorong orang mengabaikan pertimbangan-pertimbangan “rasional” baik dalam konteks memilih barang konsumsi seperti telepon genggam tertentu maupun ketika memberikan suara dalam sebuah pemilu. Pemilu adalah hak eksklusif warga negara yang tidak akan perenah bisa dimiliki oleh mereka yang bukan warga negara.
Tapi memilih telepon genggam seharga Rp. 10 juta paling tidak Anda mendapatkan kepastian atau jamian bahwa barang yang Anda pilih berkualitas sangat baik. Perusahan-perusahan yang bona fide, biasanya memberikan garasansi paling sebentar selama satu tahun untuk bermacam-macam kerusakan yang dialami konsumennya. Sementara ketika kita menjatuhkan pilihan di TPS Anda tidak pernah tahu pasti apa hasilnya sampai ketika hasil hitung cepat diumumkan dengan kemenangan pihak yang belum tentu sesuai dengan pilihan Anda. Untuk soal ini pun, selalu ada pemakluman bahwa apa pun hasilnya dan siapa pun yang terpilih tidaklah penting, karena yang lebih penting adalah bahwa dengan memberi suara dalam pemilu seseorang telah menunaikan sebagian tugas kewarganegaraannya. Beberapa kolega saya bahkan menganggap pemilu sebagai wujud patriotisme, dan boleh jadi mereka benar.
Dua Ekstrem
Konon kapitalis Henry Ford pernah berkata bahwa kalau sebelum otomobil dibuat kita bertanya kepada warga masyarakat tentang alat atau moda transportasi apa yang mereka butuhkan, maka paling hebat mereka hanya akan menjawab “kuda yang lebih cepat”, dan bukan mobil--yang kekuatannya dapat mencapai ratusan kali tenaga kuda. Tapi lantas apa relevansi ucapan Ford tadi dengan konteks diskusi tentang “memilih sebagai tindakan politik”? Selama ini hampir secara mitis sebagian dari kita percaya bahwa rakyat tahu apa yang mereka inginkan. Saya ingin menggunakan ungkapan itu justru untuk memulai diskusi kita dengan pertanyaan apakah warga atau, katakanlah, rakyat benar-benar tahu apa yang harus dipilihnya, atau haruskah mereka tahu apa yang dipilihnya. Apakah yang akan dipilihnya sesuai dengan yang diinginkannya? Atau pertanyaan lain yang juga cukup mendasar, apakah warga tahu mengapa mereka harus memilih dalam sebuah pemilihan umum?
Frase “biarkan rakyat memilih” dalam judul di atas saya pungut dari salah satu klip adegan dalam video dokumenter To Mompalivu Bure (Orang-orang Pencari Garam), yang diterbitkan Yayasan Interseksi pada tahun 2008. Kalimat tersebut bukan keluar dari mulut tokoh atau selebiriti politik nasional, melainkan tercetak pada punggung sebuah baju-T (T-shirt) atau kaos oblong yang dikenakan oleh salah seorang tetua komunitas etnis Ta’, Jima namanya, di kawasan hutan taman nasional Morowali di Sulawesi Tengah. Orang-orang di luar kawasan taman nasional biasa memanggil komunitas etnis Ta’ ini dengan sebutan yang cenderung derogatif sebenarnya, “orang Wana” (to Wana), yang secara harafiah berarti “orang dari hutan”.
Baju-T yang dipakai Jima itu bukan pakaian yang ia beli di pasar nun jauh di kota kecamatan di Kolonedale, melainkan satu dari beberapa baju kaos partai-partai politik peserta pemilu tahun 2004, yang memang banyak dipakai oleh warga setempat ketika tim pembuat video dokumenter kami berada selama sekitar satu bulan di sana. Pada bagian depan kaos yang dipakai Jima ada gambar jendral purnawirawan Wiranto dan Solahuddin Wahid (Gus Solah), kontestan pemilu presiden/wakil presiden yang disokong oleh partai Golkar waktu itu. Beberapa warga lain dalam komunitas tersebut juga memiliki baju kaos dari partai lain yang menampangkan Amien Rais atau tokoh politik nasional yang lain. Ketika sutradara film bertanya kepada Jima tentang siapa tokoh yang mukanya terpampang besar pada bagian depan baju kaos yang dipakainya itu, Jima dengan polos menjawab bahwa ia sama sekali tidak tahu siapa tokoh tersebut. Hal yang sama terjadi ketika kepada warga yang mengenakan kaos bergambar Amien Rais diajukan pertanyaan serupa. Singkatnya, tidak satu pun warga yang mengenal satu pun tokoh-tokoh yang dengan begitu percaya dirinya nampang di baju-baju kaos itu. Pada kasus Jima, cara dia mendapatkan kaosnya pun cukup menggelikan: ia memperoleh kaos itu dari seorang warga yang datang dari luar hutan taman nasional yang kedapatan mencuri ikan di Rano Bae (danau besar) yang ada di taman nasional Morowali.
Pada bagian lain video tersebut juga terdapat adegan perbincangan antara sutradara dengan beberapa orang warga yang mengungkap sisi yang sangat sensitif secara politik: kenyataan bahwa sebagian besar dari warga di kawasan ini tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Artinya, secara legal mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki hak suara dalam pemilihan umum (disenfrenchised citizens), tapi tetap saja mereka didaftar sebagai pemilih dan mendapat Kartu Pemilih, termasuk kanak-kanak yang masih di bawah umur untuk ikut pemilu. Menurut narator film tersebut, orang-orang ini sebagiannya bahkan tidak bisa membedakan antara KTP dan Kartu Pemilih yang dikeluarkan oleh KPU. Ketika ditanya bagaimana bisa terjadi hal seperti itu, dan mengapa kalau tidak punya KTP bisa mendapat Kartu Pemilih, serta mengapa ikut pemilu, jawaban mereka sama: “tidak tahu”.
Padahal KTP adalah bukti formal pertama keanggotaan seseorang dalam komunitas politik Indonesia. Untuk konteks spesifik, KTP adalah ikon dari proses-proses eksklusi yang paling nyata yang dihadapi oleh kelompok-kelompok minoritas di Indonesia, dan komunitas to Wana adalah salah satunya. Dua belas dari empat belas komunitas lokal yang pernah menjadi subjek kajian Yayasan Interseksi sejak tahun 2004 sampai 2010, misalnya, mengalami banyak persoalan rumit yang diakibatkan oleh kebijakan eksklusioner negara terhadap warga negara yang dimanifestasikan dalam data pada KTP. Sebagai penanda identitas individu yang resmi dikeluarkan oleh negara, KTP pada dasarnya lebih banyak memberi manfaat kepada negara karena ia menyediakan sumber data kependudukan yang bisa digunakan untuk kontrol sosial negara terhadap warganya.
Dari KTP kita dapat melihat bahwa catatan administratif sering menjadi lebih penting daripada figur nyata yang dirujuknya. Warga Sedulur Sikep di Pati, Jawa Tengah (Fauzan, 2005), komunitas Buda(Keling) di Lombok Utara (Wijono, 2009), atau orang-orang Tauta Wani di Sulawesi Selatan (Prasetia, 2007), misalnya, dihadirkan dalam KTP mereka sebagai para pemeluk Budhha dan Hindu, meskipun mereka sendiri mengaku menganut agama-agama yang berbeda. Tapi apa yang tertulis di atas KTP itulah identitas yang dipercaya oleh orang lain. Yang menjadi persoalan bagi warga setempat bukan hanya soal kemungkinan manipulasi identitas itu demi tujuan-tujuan spesifik dari pihak tertentu, seperti untuk kepentingan tambahan suara dalam pemilu, melainkan juga soal tidak adanya rekognisi dari negara/masyarakat luas tentang siapa sebenarnya mereka menurut mereka sendiri. Kalau kita kembali kepada cerita tentang orang-orang Wana di atas, hak mereka untuk mendapatkan KTP tidak dipenuhi oleh negara, tapi hak mereka yang lain, yang justru mensyaratkan KTP, yakni memberikan suara dalam pemilu, dicatat dan diakui melalui pemberian Kartu Pemilih, meskipun mereka tidak benar-benar memberikan suara di bilik suara pemilu. Dalam ungkapan yang berbeda, mereka diakui sebagai bagian dari angka-angka dalam tabel statistik, tapi bukan sebagai manusia yang berdarah dan berdaging.
Kita sering mendengar bahwa kebebasan adalah soal tersedianya banyak pilihan. Ekonomi industri mereduksinya lebih jauh sehingga orang yang memilih Burger King daripada McDonald, misalnya, seolah-olah sudah memilih satu dari dua hal yang sama sekali berbeda. Tinggal di dalam kawasan hutan tanpa listrik, tidak ada televisi dan koran, ketika berlangsung kampanye pemilu 2004 Jima dan kawan-kawan telah mendapat tawaran pilihan puluhan partai politik dan tokoh-tokoh yang sama sekali tidak mereka kenal, dan kita lantas mulai menyadari bahwa soalnya ternyata tidaklah semudah itu. Sama seperti orang kebingungan memilih salah satu kanal TV dari ratusan kanal yang tersedia melalui TV kabel berlangganan, bagi Jima dan kawan-kawannya semua muka di baju-baju kaos itu sama saja adanya.
Cerita di atas tentu saja harus segara diberi catatan: yakni bahwa peristiwa yang terekam dalam film tersebut tidaklah akurat menggambarkan kondisi aktual pada saat Pemilu 2004, dan tidak pula pada Pemilu 2009 yang lalu. Gambar-gambar pada film itu diambil pada sekitar kuartal pertama tahun 2008, sehingga ia sudah terlalu jauh meninggalkan momen Pemilu 2004 tapi juga masih cukup jauh menuju Pemilu 2009. Sebagain dari warga komunitas tersebut saat ini boleh jadi juga sudah pindah ke beberapa pemukiman yang dibangun pemerintah di luar taman nasional Morowali. Tapi kalau gambar-gambar tersebut bisa dijadikan artefak-artefak kultural melalui apa kita bisa menelusuri sejumlah peristiwa politik pada level yang luas cakupannya, katakanlah pada level nasional, mereka (artefak-artefak itu) akan akan cukup memberi kita bekal untuk melihat salah satu problematik pemilih di Indonesia?
Dari hutan taman nasional Morowali, saya ingin mengajak kita melihat apa yang terjadi di Jakarta, terutama pada saat pemilihan gubernur DKI tahun 2012 yang lalu. Meskipun sudah berlalu, tapi tetap saja ada pertanyaan sederhana tentang mengapa pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) bisa terpilih di Jakarta. Pertanyaan berikutnya, apakah Jokowi-Ahok adalah produk demokratisasi ataukah pasangan ini lebih merupakan anomali dari proses tersebut.
Untuk pertanyaan pertama, jawaban paling benar tentu saja adalah karena ia dipilih oleh mayoritas suara pemilih pada putaran kedua pemilihan gubernur DKI tahun 2012. Tapi mengapa ia bisa terpilih dan mengalahkan kandidat petahana sekuat Fauzi Bowo? Di luar mesin partai politik, kekuatan apa yang bekerja di balik kemenangan Jokowi-Ahok? Kalau penjelasnya karena warga Jakarta sudah muak dan frustrasi dengan rendahnya prestasi kerja calon petahana, hal-hal semacam itu terjadi di banyak tempat lain di luar Jakarta tapi hasilnya bisa jauh berbeda. Jokowi-Ahok (atau tim sukses di belakangnya saya kira) tidak mengobral baju-T dengan gambar tampang kandidat seperti tim sukses yang melakukannya sampai ke dalam hutan di taman nasional Morowali di atas, melainkan kemeja kotak-kotak tanpa foto wajah kandidat. Tapi bahkan tanpa pamer muka di baju-baju kaos itu pun, melalui berbagai kanal berita Jokowi-Ahok bisa dipastikan sudah dikenal luas oleh calon-calon pemilihnya.
Penelitian Ahmad Suaedy (2013) tentang para pendukung Jokowi-Ahok di luar tim-sukses resmi yang dibentuk oleh dua partai pendukungnya (PDIP dan Gerindra), memperlihatkan bahwa salah satu kemungkinan jawabannya adalah karena pada momentum pemilihan gubernur DKI 2012 telah berlangsung sebuah gerakan sosial partisan (particant social movement). Berdasarkan riset komparatif tentang demokrasi-demokrasi multipartai di Eropa, Kitschelt (2006, 1989) menggunakan istilah “partai-partai gerakan” (movement parties). Menurutnya (Kitschelt, 2006: 280) partai-partai gerakan ini muncul ketika terjadi koalisi-koalisi antar para aktivis politik yang terlibat dalam berbagai gerakan sosial dan mencoba menerapkan praktik-praktik organisasi dan strategisnya pada arena kompetisi partai politik. Dalam konteks pemilukada di Jakarta tahun 2012 yang lalu keadaannya jelas berbeda. Kalau pun ada beberapa aktivis gerakan sosial yang ikut terlibat dalam gerakan pemenangan pasangan Jokowi-Ahok, saya kira mereka bekerja di luar struktur partai politik PDIP dan Gerindra, sehingga kedua partai ini tidak dapat dikategorikan sebagai “partai gerakan” seperti yang dimaksud Kitschelt.
Di luar mesin-mesin politik yang digerakkan oleh partai politik pengusungnya, menurut Suaedy, bekerja sekian banyak relawan, sebagian besarnya berusia muda, yang secara sistematis dan terencana berusaha mempengaruhi publik Jakarta untuk memilih pasangan Jokowi-Ahok. Artinya, secara sederhana, ada sebuah gerakan sosial yang memang bukan hanya menginginkan sebuah kekuasaan roboh tapi juga sudah memiliki tokoh yang dipromosikan untuk menggantikannya. Ini kontras, misalnya, dengan gerakan demonstrasi massa tahun 1998 yang fokusnya hanya pada upaya menjatuhkan Suharto tapi tidak pernah benar-benar punya satu tokoh yang sepenuhnya didukung dan dipromosikan sebagai penggantinya.
Temuan Suaedy tersebut, paling tidak bagi saya, cukup penting dalam kerangka kita melihat problematik pemilih di Indonesia dalam kontrasnya dengan kondisi yang dialami oleh komunitas To Wana tahun 2008 yang lalu. Ia mengajak kita melihat pemilih bukan sebatas individu-individu yang hanya datang ke TPS untuk menunaikan hak kewargaannya pada hari-H pemungutan suara, melainkan orang-orang yang memang bekerja keras memperjuangkan agenda politiknya agar bisa memenangi kontestasi supremasi politik di wilayahnya. Kemenangan politik bukan sesuatu yang hanya ditunggu dari hasil penghitungan suara, tapi hasil yang memang diperjuangkan secara aktif. Memilih dalam pemilu, dengan demikian, bukan seperti orang mengundi nasib dengan dadu, yang penting memilih dan hasilnya sepenuhnya diserahkan pada penghitungan KPU. Gerakan ini bukan memilih “yang terbaik dari yang terburuk”, seperti alasan yang sering disampaikan oleh beberapa aktivis politik ketika “terpaksa” memilih SBY pada pemilu presiden tahun 2009 yang lalu, melainkan memilih kandidat yang menurut mereka memang yang terbaik untuk Jakarta.
Gerakan sosial yang digalang oleh para relawan Jokowi-Ahok itu seperti sedang membalikkan arah yang semula menggiring pemilih menjadi konsumen dalam pasar politik kembali menjadi warga negara yang memberikan suara dalam pemilu sebagai upaya untuk menciptakan kebaikan bersama. Melalui berbagai metode kampanyenya, gerakan ini berusaha meyakinkan bahwa kemenangan Jokowi-Ahok bukan hanya kepentingan partai politik yang mencalonkannya, melainkan kepentingan warga pemilih yang ingin Jakarta menjadi lebih baik. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa keberhasilan gerakan sosial partisan di Jakarta tidak banyak dapat diulang di tempat dan pada pemilukada yang lain?
Voter Education dan Civic Education
Secara internasional, terminologi pendidikan pemilih (voter education) biasanya dipakai untuk menjelaskan diseminasi informasi, material dan program yang dirancang untuk memberi tahu para pemilih tentang hal-hal khusus dan cara kerja proses pemungutan suara pada sebuah pemilu tertentu. Pendidikan pemilih melibatkan penyediaan informasi tentang siapa yang berhak untuk memilih; di mana dan bagaimana mendaftarkan diri; bagaimana pemilih dapat memeriksa daftar pemilih untuk meyakinkan bahwa mereka telah secara resmi dicantumkan di dalamnya; tipe pemilu apa yang sedang dilakukan, di mana, kapan dan bagaimana memilih; siapa para kandidatnya; dan bagaimana cara mengajukan pengaduan (complaints). Batasan umum ini, antara lain, dicantumkan dalam Women & Elections. Guide to promoting the participation of women in elections (W&E), yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 2005 yang lalu.
Cukup mengejutkan ketika dalam sebuah seminar baru-baru ini, ketua KPU, Husni Kamil Manik (Merdeka.com, 21/2/14), mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia sampai menjelang pemilu 2014 ini belum punya program pendidikan pemilih. Menurutnya, pendidikan pemilih masih merupakan hal yang belum sepenuhya dipahami, dan belum selesai dibahas, sehingga lembaga penyelenggara pemilu tersebut belum punya gambaran bagaimana seharusnya pendidikan pemilih itu dijalankan. Kalau pengakuan Husni Kamil tersebut dapat dipercaya, berarti bahwa enam belas tahun setelah lepas dari periode otoritarianisme, dengan tiga kali pemilu, otoritas penyelenggara pemilu Indonesia secara resmi belum memiliki bentuk pendidikan pemilih. Padahal dalam W & E terbitan PBB di atas, disebutkan bahwa salah satu fungsi administrasi pemilu yang dapat mempengaruhi partisipasi perempuan adalah pendidikan pemilih. Dalam konteks yang lebih luas, secara cukup aman kita bisa mengatakan bahwa di luar kaum perempuan masih banyak kelompok warga yang tingkat partisipasinya dalam pemilu dapat dipengaruhi oleh program-program pendidikan pemilih.
Berbeda dengan keterangan ketua KPU tadi, sudah cukup lama kalangan organisasi masyarakat sipil, bekerjasama dengan agensi-agensi internasional, melakukan inisiatif voter education di berbagai tempat dan untuk berbagai kalangan warga negara. Salah satunya adalah upaya-upaya yang dilakukan sejak tahun 1999 oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang melibatkan 38 lembaga masyarakat sipil dan didukung oleh beberapa lembaga donor internasional. Di luar itu beberapa perguruan tinggi juga telah melakukan inisiatif yang sama bagi kelompok pemilih mahasiswa di kampusnya masing-masing. Dari kenyataan ini kita dapat menafsirkan pengakuan ketua KPU di atas secara berbeda: bahwa mungkin yang dimaksudnya adalah bahwa KPU belum memiliki standar baku pendidikan pemilih yang dapat dijadikan acuan resmi semua pihak yang dapat berperan di dalamnya.
Sekali lagi kalau benar adanya maka pengakuan ketua KPU tadi, paling tidak, memperlihatkan dua hal yang akibat-akibatnya sudah lama kita rasakan. Pertama, penekanan penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dari pusat sampai daerah, lebih pada ritual bagaimana sebuah pesta demokrasi diselenggarakan dan bukan pada bagaimana secara substantif pemilu ditempatkan sebagai bagian dari praktik memelihara negara-bangsa. Tafsir KPU atas pemilu, dengan demikian, lebih dititikberatkan pada apa/siapa yang akan dipilih (partai politik dan kandidat) sedangkan aspek pemilih cenderung hanya diutamakan sebagai jumlah cacah jiwa yang membentuk DPT. Soal pemilih indikator partisipasi poliltik warga yang dipakai adalah seberapa banyak warga yang telah memiliki hak pilih menunaikan hak pilihnya, seperti para pemasar hanya peduli pada berapa banyak konsumen yang akan membeli produk yang dipasarkan. Kedua, di balik hiruk-pikuk soal ideal demokrasi dan representasi politik, jangan-jangan yang masih dominan adalah gagasan representasi liberal. Tradisi teori representasi liberal mulai dari Mill, Burke, Schumpeter sampai Downs didasarkan pada asumsi bahwa otoritas tertinggi dalam masyarakat dipegang oleh warga negara ( Ferree, et.all, 2002: 290-91). Warga negara membutuhkan para pembuat keputusan yang akuntabel, tapi warga tidak butuh berpartisipasi dalam diskursus publik tentang isu-isu kebijakan. Kehidupan publik dianggap akan lebih baik kalau warga tidak ikut ambil pusing dalam urusan-urusan seperti itu. Inilah aliran “realis” demokrasi, yakni kepercayaan bahwa warga biasa tidak cukup mendapat informasi dan tidak memiliki minat atau kepentingan serius dalam urusan-urusan publik, dan secara umum kurang siap untuk partisipasi politik.
Dalam Petunjuk Pelaksanaan Program Relawan Demokrasi Pemilu Tahun 2014 yang disusun oleh KPU, antara lain, ditulis bahwa:
Program relawan demokrasi adalah gerakan sosial yang dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam menggunakan hak pilih. Program ini melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya dimana mereka ditempatkan sebagai pelopor (pioneer) demokrasi bagi komunitasnya. Relawan demokrasi menjadi mitra KPU dalam menjalankan agenda sosialisasi dan pendidikan pemilih berbasis kabupaten/kota. Bentuk peran serta masyarakat ini diharapkan mampu mendorong tumbuhnya kesadaran tinggi serta tanggung jawab penuh masyarakat untuk menggunakan haknya dalam pemilu secara optimal.
Program Relawan Demokrasi, oleh KPU disingkat menjadi (Relasi), didorong oleh kekhawatiran akan semakin menurunnya tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu 2014, setelah melihat kecenderungan yang terjadi pada tiga pemilu sebelumnya. KPU sendiri mengidentifikasi beberapa faktor penyebabnya: kejenuhan dengan frekwensi pemilu; ketidakpuasan atas kinerja sistem politik yang tidak memberikan perbaikan kualitas hidup; maladministrasi pemilu; adanya paham keagamaan anti-demokrasi, dan; melemahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemilu sebagai instrumen transformasi sosial.
Pada bagian lain dari Juklak itu disebutkan bahwa:
Program relawan demokrasi muncul juga dilatarbelakangi oleh inflasi kualitas memilih. Tanpa mengabaikan apresiasi kepada pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara cerdas, sebagian pemilih kita terjebak dalam pragmatisme. Tidak semua pemilih datang ke TPS atas idealisme tertentu tetapi ada yang didasarkan pada kalkulasi untung rugi yang sifatnya material, seperti mendapatkan uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari. Pragmatisme pemilih ini sebagian disumbang oleh tingkat literasi politik yang relatif rendah, melemahnya kesukarelaan masyarakat (voluntarisme) dalam agenda pencerdasan demokrasi, dan masifnya politik tuna ide dari kontestan pemilu.
Kalau kita membaca secara seksama dua kutipan dari Juklak Relasi Pemilu 2014 di atas, terdapat reiterasi untuk memberi tekanan tentang kecenderungan menurunnya kualitas sebagian (besar?) partisipasi politik pemilih kita dalam berbagai pemilu yang sudah berlangsung. Pemilih dituduh terjebak pragmatisme sempit, tanpa idealisme, hanya mencari keuntungan material, rendah literasi politiknya, dan lemah jiwa kesukarelaannya dalam membangun demokrasi. Pada sisi yang lain, KPU menyadari bahwa warga tidak puas dengan kinerja sistem politik yang dihasilkan dari pemilu sebelumnya. Demokrasi hanya menghasilkan mediokrasi.
Pertanyaannya, untuk persoalan-persoalan sedemikian serius seperti itu, mengapa yang dilakukan KPU hanya membentuk program relawan yang sifatnya temporer? Mengapa problem pemilih tidak ditindaklanjuti dengan pengembangan program pendidikan pemilih yang lebih permanen dan sistematis, sinambung dan memiliki sumber pendanaan yang pasti? Alih-alih menghadapi problem kecenderungan menurunnya tingkat partisipasi pemilih dengan program pendidikan pemilih, lembaga seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kepolisian, dan Badan Intelejen Negara (BIN) malah menawarkan solusi bodoh dan kontraproduktif: menebar ancaman penjara kepada siapa saja yang menganjurkan Golput (golongan putih), bahkan kalau pun anjuran tersebut hanya dilakukan melalui media sosial.
Dua kasus yang kontras bedanya tadi, yakni antara kondisi warga di dalam hutan taman nasional Morowali dan para aktivis relawan Jokowi-Ahok, akan membantu kita melihat sebagian persoalan yang terjadi dan dihadapi oleh warga pemilih di Indonesia. Dari kelompok warga yang sudah mengalami, katakanlah, emansipasi politik pada satu sisi sampai kelompok warga yang secara aktual memang tidak tahu dan tidak berkepentingan dengan hiruk-pikuk ritual demokrasi. Jarak itu memang demikian jauh, tapi dari jarak selebar itu kita justru dapat melihat sebuah spektrum yang memperlihatkan problematik warga pemilih di Indonesia. Bukan mustahil bahwa apa yang terjadi pada orang-orang yang tinggal di dalam hutan taman nasional Morowali, itu masih pula terjadi pada sebagian warga di Jakarta. Sebaliknya, tidak pula mustahil bahwa orang-orang Wana yang saya ceritakan di atas saat ini sudah memiliki pengetahuan yang jauh lebih baik tentang pemilu daripada tahun 2008 yang lalu.
Dari dua contoh kasus di atas kita dapat mengajukan pertanyaan: dalam upaya pendidikan pemilih apakah penekanannya harus diletakkan pada bagaimana mereka menunaikan hak pilihnya di dalam TPS ataukah lebih pada mengapa mereka harus memilih? Konkrenya, apakah proyek voter education (pendidikan pemilih) adalah bentuk-bentuk pelatihan bagi warga tentang teknik dan prosedur pencoblosan surat suara, ataukah lebih merupakan upaya membentuk semacam kefasihan bersama tentang mengapa memilih dalam pemilu penting artinya bagi pembentukan dan pemeliharaan kehidupan kolektif kita di dalam masyarakat politik. Dalam cara yang berbeda dapat dikemukakan, apakah pendidikan pemilih harus diperlakukan sebagai semata-mata bagian dari fungsi admnistrasi pemilu ataukah ia justru harus menjadi bagian integral dari pendidikan kewarganegaraan (civic education). Salah satu resiko ekstrem dari yang pertama adalah kecenderungan mereduksi demokrasi menjadi identik dengan pemilu, sedangkan yang terakhir justru seharusnya menempatkan pemilu hanya sebagai bahagian dari demokrasi dan demokratisasi.
Pada situs Pantau Pemilu yang berafiliasi dengan JPPR, tentang mengapa pemilu harus diselenggarakan ditulis karena:
Melalui Pemilu, para wakil rakyat dan pemerintahan sebelumnya yang tidak memihak rakyat bisa diganti. Jika pemimpin yang dipilih oleh rakyat pada Pemilu sebelumnya ternyata kebijakannya tidak memihak rakyat maka rakyat bisa bertanggungjawab dengan tidak memilihnya lagi di Pemilu berikutnya.
Inilah kelebihan demokrasi melalui Pemilu langsung. Cara seperti ini berusaha benar-benar mewujudkan pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi menghendaki, kekuasaan tidak dipegang oleh segelintir orang, tetapi oleh kita semua dengan melakukan pengecekan ulang dan perbaikan-perbaikan secara bertahap. Melalui Pemilu langsung, masyarakat pemilih bisa menilai apakah pemerintahan dan perwakilan pantas dipilih kembali atau justru perlu diganti karena tidak mengemban amanah rakyat.
Kalau kita membandingkan kalimat-kalimat dalam kutipan di atas dengan latar belakang pembentukan relawan demokrasi versi KPU yang saya kutip sebelumnya, akan tampak beda yang cukup kontras. Yang satu mengungkapkan konsep-konsep ideal tentang pemilu dan demokrasi, yang lainnya menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi dalam praktik pemilu dan demokrasi di Indonesia. Dua aspek ini tentu saja sangat penting untuk kebutuhan pendidikan pemilih di Indonesia. Yang dilupakan dari penjelasan JPPR dan KPU adalah bahwa pemilu juga dapat mengukuhkan otoritarianisme seperti zaman Orde Baru, atau menghasilkan rezim pemerintahan mediokratis sementara praktik korupsi terus pula melela seperti yang terjadi saat ini. Bahwa ternyata rezim korup dan bengis pun tidaklah mudah diganti melalui pemilu belaka. Atau penjelasan tentang mengapa demokratisasi justru memberi ruang cukup lapang untuk konsolidasi dinasti politik seperti di Banten dan Sulawesi Selatan.
Tapi apakah rakyat pemilih membutuhkan informasi-informasi atau bahkan pengetahuan tentang hal-hal tersebut? Jawabannya boleh jadi bergantung kepada apakah voter education hanya akan dibatasi pada bentuk-bentuk penyuluhan tentang teknis dan prosedur pemungutan suara sejak sebelum sampai hari-H pencobolosan kartu suara ataukah ia juga akan dimanfaatkan sebagai proses pendidikan kewarganegaraan. Apakah eksistensi pemilih dalam demokrasi hanya akan diperhitungkan pada saat pemilu ataukah ia (pemilih) tetap atau bahkan lebih diperhitungkan pada periode pasca pemilu (post-election democracy). Nordholt (2008: 18) mengingatkan kita bahwa kalau negara tidak menjalankan tugasnya menjamin tegaknya hukum, bagaimana rakyat akan bisa diajak berpartisipasi dalam pemilihan umum? Untuk berapa kali pemilu lagikah pemilih masih akan termotivasi untuk mengalahkan pemerintahan yang korup jika, setelah sebuah pemilihan, yang mereka dapatkan adalah lagi-lagi pemerintah yang korup?
Pada bagian lain penjelasan JPPR disebutkan bahwa:
Dengan demikian, Pemilu adalah gerbang perubahan untuk mengantar rakyat melahirkan pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menyusun kebijakan yang tepat, untuk perbaikan nasib rakyat secara bersama-sama. Karena Pemilu adalah sarana pergantian kepemimpinan, maka kita patut mengawalnya. Keterlibatan aktif masyarakat dalam seluruh tahapan Pemilu sangat dibutuhkan. Masyarakat perlu lebih kritis dan mengetahui secara sadar nasib suara yang akan diberikannya. Suara kita memiliki nilai penting bagi kualitas demokrasi demi perbaikan nasib kita sendiri.
Sampai pada kutipan terakhir di atas, kita dapat melihat terdapatnya keyakinan yang hampir bersifat romantis bahwa demokrasi pasti akan menghasilkan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik. Sugesti dari kalimat-kalimat di atas adalah bahwa seolah-olah pemilu dalam demokrasi dapat menjamin akan terjadinya perbaikan nasib rakyat sebagai hasil akhir dari terpilihnya seorang pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menyusun kebijakan yang tepat. Pertanyaannya kemudian adalah apakah melalui pemilu dalam demokrasi dapat dijamin akan dihasilkan pemimpin yang diidealkan tersebut? Karena itu Pemilu tidak cukup hanya dijadikan ritual suksesi kepemimpinan politik melainkan, dan saya kira ini jauh lebih penting, sebagai bagian dari upaya besar pendidikan politik bagi warga negara.
Penutup
Meskipun akan terdengar klise, tapi politik di Indonesia mungkin memang belum keluar dari proses transisional. Taylor (2007: 120) mengisahkan bahwa transisi menuju demokrasi melibatkan kesanggupan kita untuk bersama-sama mempertahankan keberlanjutan pemilu dan praktik-praktik serta institusi-institusi demokrasi, seperti pemilu nasional, pemilukada, public-sphere yang rasional, partai-partai politik dan gerakan-gerakan lain yang terlibat dalam mobilisasi damai, dan penerimaan atas sebuah kerangka kerja legal (legal framework) sebagai arbitrasi tertinggi (ultimate arbitrer). Dalam beberapa kasus, rezim baru harus mulai membangun dari awal institusi-institusi yang tidak berhubungan sama sekali dengan apa yang terjadi sebelumnya.
Dalam konteks global, kita bisa melihat kontras antara transisi menuju demokrasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS)pada abad ke-18 dengan apa yang terjadi di Indonesia pada penghujung abad ke-20 sampai awal abad ke-21 ini. Kalau kita percaya Taylor (2007: 121), pada saat berlangsung transisi demokrasi AS sudah memiliki lembaga-lembaga perwakilan yang dipilih, yang dianggap sebagai ekspresi legitim dari kehendak rakyat (popular will). Di Indonesia, di lain pihak, DPR dan MPR hanya menjadi stemple kekuasaan eksekutif selama lebih dari tiga dekade, dan sampai saat ini masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan Orde Baru.
Tapi kontras yang sama dapat pula dilihat pada skala lebih kecil, yakni lingkup nasional. Seperti kita ketahui bersama, masing-masing daerah di Indonesia memiliki tingkat perkembangan yang berbeda, dalam banyak kasus perbedaannya sangat tajam, dalam proses transisi menuju demokrasi. Saya akan kembali pada dua contoh terdahulu untuk dapat melihat kontras yang paling tajam: yakni antara warga di hutan taman nasional Morowali di Sulawesi Tengah dengan warga Jakarta yang berhasil memenangkan pasangan Jokowi-Ahok. Saya tidak ingin terjebak oleh romantisme untuk mengatakan bahwa bisa jadi komunitas sub-etnis seperti Orang Wana telah memiliki tradisi berdemokrasi, karena pada dasarnya mereka memang tidak memiliki institusi apa pun yang bisa disebut memadai bagi pengembangan demokrasi modern jika dibandingkan dengan apa yang sudah dimiliki oleh warga Jakarta.
Di Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjadi wakil gubernur yang dapat mengubah tafsir tentang kategori usang tentang “pribumi” dan “non-pribumi” ketika ia mengatakan bahwa: “yang pribumi itu adalah mereka yang tidak korupsi, sedangkan yang non-pribumi adalah mereka yang mencuri uang negara”. Tapi di Pidie, Aceh, sampai tahun 2011 yang lalu tidak satu pun orang Cina dan warga non-Aceh umumnya yang diberi ruang berdagang di pasar (Sudiarto, 2012), dan jenazah seorang bayi dari pasangan orang tua Batak non-muslim sempat ditolak dikubur di Bukittinggi (Viri, 2012). Di Binjai, pemuda-pemuda yang bergabung dalam sebuah keluarga alumni sebuah organisasi massa mahasiswa Islam memilih sikap lebih pragmatis: menyebar kader-kadernya pada semua partai politik yang berkompetisi dalam pemilu sehingga apa pun partai yang berkuasa kekuatan mereka tetap mewarnainya.
Jika demikian maka masihkah kita bisa percaya pada slogan “biarkan rakyat memilih”?
Jakarta, 27 Februari 2014
Rujukan
Ansolabehere, Stephen, John M. de Figueiredo, dan James M. Snyder Jr., “Why is There so Little Money in U.S. Politics?”. Journal of Economic Perspectives. Volume 17, Number 1—Winter 2003—Pages 105–130.
Barzel, Yoram dan Eugene Silberberg. “Is the Act ff Voting Rational?” Public Choice, Vol. 16, (Fall, 1973), pp. 51-58.
Edlin, Aaron, Andrew Gelman, and Noah Kaplan, “Voting As A Rational Choice. Why And How People Vote To Improve The Well-Being Of Others”. Rationality and Society, Vol. 19(3): 293–314.
Fauzan, M. Uzair, “Berebut Kapling untuk Tuhan. Minoritisasi Parmalim dan Konflik Pembangunan Tempat Ibadah”. Dalam Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Disunting oleh Mashudi Noorsalim, dkk. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007.
Ferree, Myra Marx, William A. Gamson, Juo Rgen Gerhards, dan Dieter Rucht, “Four models of the public sphere in modern democracies”. Theory and Society 31: 289-324, 2002.
Jørgen Elklit and Palle Svensson, “What Makes Elections Free and Fair?” Journal of Democracy 8 (July 1997): 32–46.
Kitschelt, H. “Movement Parties”. Dalam R. S. Katz & W. Crotty (Eds.), Handbook of party politics (pp. 278-290). London: Sage, 2006.
Prasetia, Heru, “Lintas Batas Identitas. Posisi dan Artikulasi Komunitas Tolotang Sulawesi Selatan”. Dalam Dalam Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Disunting oleh Mashudi Noorsalim, dkk. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007.
Saptohutomo, Aryo Putranto. “Australia-India punya pendidikan pemilih, Indonesia masih mimpi”, Merdeka.com, 21/2/2014 (diakses tgl. 21 februari 2014).
Suaedy, Ahmad. "Partisan Social Movement and Sectarian Issues in Jakarta Gubernatorial Election" 2012. Naskah presentasi pada Diskusi Dwibulanan the Interseksi Foundation, Jakarta, 23 Januari 2014.
Sudiarto, “Kota Dagang Tanpa Cina”. Dalam Hikmat Budiman (ed), Kota-kota di Sumatra. Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2012.
Taylor, Charles. “Cultures of Democracy and Citizen Efficacy”. Public Culture 19/2007:1
van Klinken, Garry. “Patronage Democracy in Provincial Indonesia”. Dalam Olle Tornquist, Neil Webster, dan Kristian Stokke (eds), Rethinking Popular Representation. New York: Palgrave Macmillan, 2009.
Viri, Kristina. “Pengelompokan Pemukiman Warga Berdasarkan Etnis dan Agama di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat”. Dalam Hikmat Budiman (ed), Kota-kota di Sumatra. Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2012.
Women & Elections. Guide to promoting the participation of women in elections. United Nations, March 2005.
“Pemilu dan Demokrasi”, situs web Pantau Pemilu < http://pantaupemilu.org/pemilu-dan-demokrasi> (diakses tgl. 26 Februari, 2014).
To Mompalivu Bure (Orang-orang Pencari Garam). Video dokumenter. Sutradara: Daniel Rudy Haryanto. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2008.