Sumber kearifan di zaman kita kini barangkali bukan lagi petuah kaum tua tapi film kartun. Kaum tua terlampau sering merasa benar sendiri, sehingga lebih sanggup mendatangkan rasa bosan yang menentang ketimbang pendengar yang antusias. Selain itu, orang tua kelewat lamban, tak sesuai dengan desakan sumber-sumber informasi lain yang terus-menerus saling menjatuhkan. Dunia kita sekarang, seperti kata Lyotard, terlampau sarat kanal frekwensi informasi bahkan sampai overloaded: Terlampau sering mendengarkan omongan orang tua, dengan demikian, berarti membiarkan diri kita sendiri tertikam kesepian dalam gaduhnya kabar dan peristiwa yang mbludak. Apalagi karena sesungguhnya kita telah menjadi korban dari kelangkaan informasi justru di tengah hirukpikuknya lalulintas kata dan benda, dan warta sejagat.
Sekarang bukan cuma orang tua yang makin cepat lelah, tapi hati dan pikiran yang lebih muda pun makin sulit bertahan lama dalam konsentrasi penuh. Yang tua sering kebingungan karena merasa selalu ditinggalkan oleh keadaan, sehingga mereka seolah kehabisan pilihan. Yang muda kerap kewalahan karena terus diburu-buru oleh waktu, akhirnya tertegun-tegun di depan etalase yang menjajakan sedemikian banyak pilihan dan simpangsiurnya impian. Latihan-latihan etis asketis adalah reruntuhan kota tua, tidak menggairahkan malah menakutkan.
Kita tahu bahwa serbuan cepat perkembangan sain dan teknologi telah menandai lahirnya sebuah era baru. Sebuah zaman ketika kita semakin takjim pada waktu senggang, karena sebelumnya kita telah gemilang memampatkan pembocoran dan pemborosan waktu di segala bidang. Segala pekerjaan dirampingkan dengan pedoman dua kata instruktif: efektif dan efisien!. Dan film kartun adalah bagian dari kesadaran kita yang tengah berbulan madu dengan setiap produk dari apa yang kita sebut sebagai modernitas dengan segala paradoksnya itu: memburu waktu untuk membunuhnya ketika rehat; membesarkan anak-anak sebagai pengisi waktu senggang. Pola pencerminan telah terbalik: film kartun bukanlah refleksi dari kehidupan kita, melainkan sebaliknya, hidup kita adalah cermin langsung darinya: absurd dan monoton. Maka bagi orang seperti Baudrillard,--yang secara konyol tapi cerdas telah menafsirkan gagasan McLuhan--masyarakat manusia saat ini telah menjadi perpanjangan dari televisi.
Film kartun adalah bagian dari waktu senggang kita yang sekarang semakin membumbung nilai dan harganya. Ia telah berhasil menambah daya gravitasi rumah baik bagi anak maupun orang tua. Yakni ketika kita mulai makin bisa merasakan munculnya ketergantungan baru pada hiburan-rumah tangga. Ketika rumah menjadi sesuatu yang kita rindukan, selalu. Rindu-rumah adalah gejala yang khas manusia modern--yang dengan mobilitas sangat tinggi tidak pernah mengenal batas dalam menjelajahi ruang; mencerabutkan diri dari rumah-dan-tetangga, menyibukkan diri dalam petualangan pada ruang-ruang baru yang tercipta di pabrik, kantor atau noktah-noktah kecil lainnya dalam peta dunia. Karenanya sebagian besar dari kita adalah orang-orang yang, meminjam terminologi yang dipakai Peter L. Berger secara longgar, homeless mind, kembara tak bersanak-berkadang, serta niscaya rawan terkena rindu dendam pada segenap warisan kultural yang (terpaksa?) ditinggalkan. Sebab merindukan sepersekiannya berarti mengharapkan sesuatu yang pernah singgah dalam wilayah indra dan kesadaran kita, tapi yang sekaligus juga telah menjauh.
Bagi penonton televisi di Indonesia, pilihan atas film kartun boleh jadi juga merupakan cermin dari perubahan radikal dalam mengelola rumah tangga. Sebagai semacam wakil dari rasa bersalah kepada anak-anak yang masih tetap menuntut waktu khusus di luar jadwal kerja. Sebab dalam beberapa dekade belakangan ini, rumah telah semakin sulit untuk dijadikan basis dari mana sebuah kegembiraan bisa dimulai. Artinya rumah sebagai ruang tempat oposisi terhadap kondisi sistemik semakin susut. Dengan kalimat lain, rumah semakin kehabisan kedaulatannya sebagai pusat tempat segala kasih sayang berlimpah-ruah. Ia telah menciut menjadi sebatas tempat penghentian temporer belaka dari ritus panjang yang kita sebut "kerja". Zaman kita adalah zaman yang menyaksikan bagaimana kelimpahruahan materi berhasil menciptakan rasa takut manusia yang bukan kepalang atas keku-rangan--rasa takut tidak memiliki pekerjaan. Kita menjadi manusia yang begitu tegar mencari rejeki sekaligus sangat ringkih menghadapi kelangkaan.
Modernitas dengan gemilang berhasil menumpas pelbagai mitos purba, sambil sekaligus membangun mitos-mitos baru. Program semacam keluarga berencana, misalnya, telah berhasil menggeser bukan hanya pandangan tentang pernikahan yang semula dianggap sebagai satu-satunya mekanisme (resmi) reproduksi biologis menjadi kesenangan psikologis semata, melainkan juga telah merombak kesadaran kita dalam menerima anak. Maka berbagai kajian tentang maraknya kasus perkosaan belakangan ini, tidak ada satu pun yang mencoba mengkaitkannya dengan persoalan pergeseran pandangan orang tentang seks. Bahwa seks yang semula nyaris niscaya berkorelasi dengan penerusan keturunan, sekarang semata dilihat sebagai kesenangan psikologis--yang antara lain juga merupakan konsekwensi tak disengaja dari program KB (terima kasih mas Faruk!).
Di lain pihak, anak yang semula dianggap sebagai rizki ilahiah, dalam banyak hal telah mengalami penurunan derajat nilai dengan gradasi yang beragam pada setiap konteks struktur sosial masing-masing masyarakat. Apa sesungguhnya yang telah terjadi, ketika kepercayaan bahwa "banyak anak, banyak rejeki" telah dilecehkan secara beramai-ramai saat ini, dan digedor habis oleh semboyan baru "keluarga kecil bahagia dan sejahtera"? Konsep tentang rizki dan kebahagiaan lantas diterjemahkan dalam sebuah cara yang terlampau simplistis dan materialis, sehingga keduanya menjadi perkara yang sepenuhnya bisa diukur melulu dari standar-standar ekonomis.
Anak yang semula dihargai sebagai pusat, digusur oleh hasrat orang tua untuk memburu-buru mitos baru tentang kerja, kemakmuran, karier bahkan teknik-teknik detil permainan berahi--yang senantiasa digugah untuk terus meremajakan diri. Dalam banyak hal, seks bahkan seolah menjadi bagian terpenting kemurtadan modernitas dari belenggu norma-norma lama. Modernitas adalah juga elan yang dirasuki libido meluap-luap.
Maka hari ini kita bisa melihat bagaimana sesungguhnya kedewasaan tidaklah berbanding lurus dengan jumlah deret umur. Sebab keinginan seseorang dalam menjalani waktu pertama-tama bukan lagi untuk mendewasakan diri, melainkan meraih kesejahteraan ekonomis, dan kenyamanan biologis. Seorang kawan saya yang jadi salah seorang pekerja pada sebuah usaha multi level marketing pernah menyatakan obsesinya untuk bisa pensiun ketika orang-orang lain justru tengah sibuk-sibuknya bekerja. Karenanya, kita adalah orang-orang yang sangat cepat menjadi kaya sekaligus gampang merasa lelah: orang-orang yang demikian diobsesi oleh kemakmuran dan, pada gilirannya, sangat rakus hiburan.
Karena rutinitas hariannya di satu sisi, dan semakin terbukanya peluang untuk mengakses informasi dari segala penjuru di sisi lain, orang-orang modern memang semakin tidak membutuhkan nasihat moral yang kaku dan memusingkan kepala. Beban hidup zaman ini terlampau berat kalau harus ditambah petatah-petitih yang menjengkelkan. Orang modern lebih membutuhkan gocohan-gocohan kesan yang menghibur--sebuah teladan yang tidak menggebu-gebu sebagai patriot, tapi merambat penuh percaya diri seperti film kartun Pak Flintstone. Sebab tanpa itu, kerja keras separuhnya adalah jalan lain menuju kekosongan. Dan mengunyah film kartun mungkin juga merupakan sebuah strategi tindakan untuk sesaat bergembira di tengah sekian banyak obligasi hidup yang baru tapi kaku--seperti kerah baju.
Kita lebih membutuhkan kejenakaan yang terang ketimbang nasihat yang berwibawa tapi membosankan. Singkatnya, kita lebih membutuhkan komedi ketimbang teori budi pekerti. Dalam Laughter (1956) Henri Bergson menegaskan bahwa komedi diciptakan dengan mensubstitusikan event-event mekanis dan predictable menjadi peristiwa-peristiwa yang alamiah dan spontan. Sementara Sigmund Freud dalam Jokes and Their Relationship to the Unconscious (1953) menyatakan bahwa humor menyediakan gratifikasi infantil dengan membuat disrupsi dunia dewasa dan kerap menjadi sebuah sarana pelepasan ketaksadaran seksual.
Ketika sejarah kian penat, hidup lantas hanya membutuhkan dan kesadaran hanya mampu mengunyah hiburan. Karena itu banyak pihak yang jungkir-balik menyiasatinya. Hiburan menjadi bisnis yang tak kalah bergengsi dibanding transaksi pesawat terbang. Ia menjadi perkara yang tidak kalah serius dari persoalan pelik mana pun. Maka muncul persaingan yang kadang lucu, sering juga menguntungkan kita karena ulah para pengelola bisnis hiburan ini. Bohong besar jaman ini adalah kalau ada orang yang masih saja berkeras bahwa hal teknologi (artinya keteknikan) merupakan persoalan paling penting bagi kebesaran sebuah bangsa.
Tentang hal ini, baiklah kita belajar dari kebesaran bangsa lain. Amerika Serikat misalnya. Pencipta karakter kartun (dari bahasa Italia "cartone") Mickey Mouse sekaligus inovator film yang memenangkan 30 Academy Awards, Walter Elias Disney, adalah juga salah seorang penghibur (Amerika) yang paling berhasil. Lisensi bagi hak reproduksi Mickey Mouse dan karakter-karakter Disney lainnya untuk dipakai pada pakaian, buku dan sebagainya, benar-benar telah membuat fantasi-fantasi Disney senantiasa hadir dalam kehidupan orang-orang Amerika dan belahan bumi yang lain, termasuk kita, di sini, sampai hari ini. Maka sebenarnya Amerika menjadi bangsa yang besar tidak pertama-tama oleh teknologi mutakhir--apa pun jenisnya itu--melainkan juga oleh terciptanya sebuah peluang untuk berkembang bersama dalam ide dan tindakan.
Dulu sangat mungkin orang melihat hiburan sebagai wilayah yang berjauhan atau bahkan berseberangan dengan wilayah lain seperti sain misalnya. Hiburan hanya dianggap sebagai aktivitas mengisi waktu luang. Sesuatu yang, meskipun dianggap penting, tetap saja diremehkan. Tapi kini ia justru menjadi lahan mencari uang sekaligus pendongkrak martabat yang mencengangkan: seorang pelawak atau penyanyi pop, misalnya, bisa berpenghasilan menyamai seorang menteri bahkan jauh di atasnya. Kalau terhadap seorang menteri atau pejabat umumnya kita masih sering sedikit bercuriga tentang asalmuasal basis material yang dipunyainya, maka ini jarang terjadi terhadap seorang pelawak atau penghibur lainnya: Siapa yang akan bercuriga buruk tentang sumber-sumber kekayaan Bagito atau Dessy Ratnasari? Berhadapan dengan seni pun, semula hiburan adalah kawasan yang dilecehkan di bawah seni-seni serius yang memerlukan bukan hanya kepekaan rasa tapi juga posisi kelas sosial tersendiri. Banyak pula yang mengelompokkan hiburan ke dalam kategori budaya massa.
Sampai di sini kita patut bersyukur dengan perkembangan sain dan teknologi. Karena keduanya telah sanggup mengangkat martabat seni hiburan pada nilai dan harganya yang tertinggi. Berkat progres saintek, industri kita sekarang justru kelimpahan waktu luang, karena perkakas masinal yang hemat waktu telah menggeser tenaga manual yang lamban. Saintek juga berhasil meletakkan semacam obligasi baru di atas manusia untuk bekerja lebih keras, dengan akibat munculnya kebutuhan akan hiburan untuk mengatasi kejenuhan yang makin memberat. Tidak berhenti di sini, saintek juga menjadi pesaing yang gigih bagi estetika seni serius. Hiburan menjadi semakin penting, justru karena seni serius semakin sulit meraih kepercayaan.
Hiburan adalah keharusan bagi kelanjutan proses kerja dalam industri: Music Hall, Vaudeville, dan Burlesque, misalnya, merupakan bentuk-bentuk hiburan popular yang dikembangkan pada abad 19 untuk memenuhi kebutuhan massa pekerja yang hidup di kota-kota yang tengah tumbuh pesat di Inggris dan Amerika Serikat dan--pada tingkat yang lebih rendah--di kota-kota lainnya di kedua benua tersebut. Vaudeville di Amerika dan music hall di Inggris umumnya mempertunjukkan musik, dansa atau komedi. Kata vaudeville berasal dari bahasa Prancis dan boleh jadi diderivasikan dari lagu-lagu tematis Vau de Vire, Lembah Sungai Vire di Normandia. Sementara Burlesque bermula dari komik-komik parodi tentang tema-tema atau orang-orang terkenal. Kata ini berasal dari bahasa Italia "burla", yang lebih kurang berarti tindakan-tindakan yang lucu dan playful. Dengan ungkapan lain, industrialisasi telah menggeser bukan hanya etika kerja lama, tapi juga estetika seni (tinggi). Saat ini, kita semakin sulit untuk tidak memuji apa yang semula dilecehkan sebagai the aesthetic of plenty seperti kitsch dan teknologi. Dan budaya massa juga semakin terpercaya sebagai aktivitas simbolik yang lebih menggairahkan.
Segala macam kecemasan akan dampak budaya massa bagi masyarakat, akhirnya seperti bunyi terompet perang tanpa gamelan pengiring. Berdentam tetap keras tapi kehilangan wirahma. Karena kritik semacam itu, meskipun sangat perlu, semakin gampang terlihat sebagai, meminjam Bourdieu, upaya mereproduksi hierarki sosial melalui pelembagaan kesewenangan kultural. Ada satu keyakinan yang hampir ideologis, bahwa audience budaya massa pasif semata. Kritik-kritik budaya massa sampai pada bentuknya yang paling mutakhir, sebagian besar masih mendasarkan diri pada asumsi tentang konsumen sebagai korban yang mudah ditipu demi keuntungan produsen di satu pihak, sambil tetap meremehkan muatan budaya massanya itu sendiri. Padahal konsumen makin lama justru semakin sanggup meraih kedaulatan untuk bebas memilih.
Kebebasan seperti itulah yang terus mengantar kita pada era demokratisasi budaya. Ironisnya, mereka yang melontarkan kritik terhadap budaya massa, mereka sendiri menjadi penghidupnya. Yakni dengan mengirimkan tulisan kritik mereka ke media-media massa seperti koran--yang dianggap sebagai media utama yang musti bertanggungjawab atas melelanya budaya massa tadi. Sebuah ekshibisi atau diskusi tentang budaya serius, juga lebih terangkat prestisenya jika ia diliput secara massal oleh radio, televisi atau koran.
Sumber kearifan kita ini hari memang bukan lagi ajaran-ajaran budi pekerti tapi film kartun Mr. Flintstone. Seperti halnya Benjamin Sueb almarhum, Pak Flintstone adalah bintang hiburan kesayangan banyak keluarga di Nusantara. Ia datang ketika orang banyak yang mulai makin muak mendengarkan petuah dan titah.
Pak Flintstone ke luar masuk goa sambil tak pernah berhenti tertawa. Itulah mengapa ketika diputar di TVRI sekitar lima belas tahun lalu, film serial kartun ini diberi judul yang sangat bersahaja tapi sungguh subtil: Pak Flintstone Jenaka. Ia tinggal di dalam sebuah goa purbakala. Sebab konon Pak Flintstone adalah manusia jaman batu yang hidup ribuan tahun sebelum generasi kita ini. Melihat morfologi sosoknya, boleh jadi ia termasuk generasi awal homo sapiens yang, seperti keyakinan para antropolog dan arkeolog, sekitar 1,6 juta sampai tiga ratus ribu tahun lalu mulai bermigrasi dari Afrika melintasi Asia ke Cina dan Indonesia lantas ke Amerika Utara. Tapi dalam goa itu sudah ada telephone, televisi, dan peralatan modern lainnya. Kalau pergi ke luar goa, Pak Flintstone sekeluarga juga sudah mengendarai sebuah mobil, meskipun semuanya terbuat dari batu. Di dalam goa ia hidup tenteram, bahagia dan, ini yang paling penting, selalu riang gembira sepanjang waktu--seperti bunyi penggalan lagu masa kanak-kanak kita.
Berkali-kali Ki Gendeng Pamungkas menyatakan, bahwa orang yang paling sulit terserang santet adalah mereka yang banyak tertawa. Ki Gendeng tidak tinggal di dalam goa, melainkan di sebuah kota metropolitan kedua di Indonesia, Surabaya. Seperti Pak Flintstone, Ki Gendeng juga berkendaraan mobil, bertelefon (genggam), bahkan faksimili. Bedanya Ki Gendeng tidak terus-menerus tertawa. (Bagaimana ini? Apa Ki Gendeng tidak takut terkena santet?)
Pak Flintstone yang jenaka itu, terus-menerus tertawa bukan berarti dia sadar betul kalau hal itu bisa membebaskannya dari bahaya serangan dukun santet. Pak Flintstone orang yang lucu, tulus, baik hati lagi pula pintar, jadi mana pernah dia menyakiti hati orang lain? Mustahil kalau ada orang yang tega menyantetnya. Ia tertawa mungkin karena beberapa hal. Bisa jadi karena ia memang ditakdirkan sebagai manusia yang sangat sensitif syaraf ketawanya, sehingga apa pun yang terjadi, bahagia atau sedih, hanya tawa yang bisa keluar. Karena ia seorang periang, berada dalam lingkungan yang sangat baik, sehingga tidak ada satu hal pun yang bisa membuatnya bersedih. Syarafnya normal, artinya ia bisa ketawa tapi juga bisa menangis, tapi karena secara struktural milieu sosialnya sangat menggembirakan, maka kalau dia menangis justru ia jadi tidak normal. Normalisme memang semakin sering terlihat membingungkan!
Tafsiran lain bisa juga diambil dari sudut politik dan ideologis tentang ketawa dan menangis. Dalam komik silat serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 rekaan Bastian Tito, misalnya, ada tokoh yang disebut dengan julukan Dewa Ketawa. Konon, tokoh ini selain sakti juga tidak bisa bersikap lain kecuali tertawa di setiap momen. Meskipun Dewa Ketawa sering kalah dalam perkelahian, tapi tidak pernah sampai ada kisah ia terserang santet. Kontras dari watak Dewa Ketawa adalah karakter adiknya sendiri, Dewa Sedih. Sesuai julukannya, dewa yang satu ini hanya bisa menangis, tidak peduli apakah ia sedang berduka atau justru sedang berbahagia. Kalau Dewa Ketawa termasuk dalam tokoh-tokoh persilatan aliran putih, Dewa sedih sebaliknya ada di pihak golongan hitam. Antara sedih dan gembira telah dipetakan secara ideologis, dan diletakkan dalam garis demarkasi yang secara tegas membedakan antara "yang baik" dan "yang buruk". Dengan ungkapan lain, kategori sedih dan gembira telah dipaksa masuk ke dalam perangkap dualisme.
Dalam peta semacam itu, dengan mudah kita bisa melihat posisi (ideologis) orang-orang semacam anggota kelompok Bagito atau Asmuni. Maka berbahagialah para penghibur, karena sampai saat ini dominasi cara pikir dualisme memungkinkan mereka menempati sisi yang dianggap "baik" berseberangan bahkan berlawanan dengan sisi "buruk". Tapi pandangan seperti ini bukan tanpa resiko. Sebab ke dalam kategori tersebut secara paradoks juga bisa dimasukkan orang-orang yang juga selalu tertawa yang, dalam konstruksi medis, dikategorikan sebagai "gila".
Kemungkinan lainnya, kejenakaan Pak Flintstone bisa juga ditafsirkan sebagai sebuah mekanisme pertahanan diri dan mental. Bukan dari serangan santet, tapi dari problema sistemik peradaban. Sebab baginya, pengalaman menyejarah dalam zaman modern tidak sepenuhnya bisa dimengerti: Bayangkan kalau Anda sendiri yang terbiasa hidup di zaman modern sekarang, tiba-tiba harus hidup di masa ribuan tahun yang silam misalnya. Apa yang bisa Anda lakukan di sana? Coba seandainya Anda bertemu para Cyclops yang bermata satu dan senang makan manusia. Anda mau lari ke mana? Ke dalam goa? Justru Cyclops ini hidupnya di tempat-tempat seperti itu. Lari ke atas pohon? bagaimana kalau ketemu ular-ular yang sebesar banteng? Biar adil, katakanlah bahwa secara kebetulan bersama Anda juga ada sebuah pesawat terbang. Anda bisa masuk ke dalamnya dan lantas terbang jauh. Tapi mau terbang ke mana? Pesawat itu tidak dirancang untuk bisa menembus lorong waktu dan mengantarkan Anda ke masa sekarang. Dengan kata lain, Anda hanya bisa bebas secara temporer. Anda sudah terperangkap di sana dan tak mungkin bisa kembali.
Lama kelamaan Anda jadi terbiasa dengan kondisi seperti itu. Cyclop, Gargantua, Dinosaurs, reptil raksasa atau yang lainnya musti jadi bagian dari takdir hidup Anda. Akhirnya Anda toh akan terbiasa dengan semua itu. Kalau sudah begini, ketika pada satu hari Anda melihat seorang Cyclop sedang berlari ketakutan dikejar Gargantua, paling-paling Anda hanya bisa tertawa. Lha mau apa lagi? Nonton TV? Parabola 24 feet yang Anda tinggalkan di dalam pesawat tetap tidak bisa menolong.
Atau mungkin pula sebenarnya Pak Flintstone adalah representasi dari sosok bodhisatwa yang arif: sanggup menertawakan dirinya sendiri. Bukankan pada kita ada semacam kepercayaan bahwa barangsiapa mampu menertawakan dirinya sendiri berarti ia telah menjadi orang yang bijak bestari? Tapi lupakanlah itu!
Pak Flintstone sebenarnya mungkin sudah pasrah untuk mati berabad-abad yang lalu. Tapi nasib memberinya umur panjang, sampai tiba di zaman modern ini. Atau barangkali ia tersesat dan terbuang dari kalangannya. Karena secara tiba-tiba dan iseng ia memutar-memutar sebuah benda, yang ternyata itu merupakan sebuah alat yang bisa membalik waktu, misalnya. Atau akibat ulah eksperimental manusia sekarang yang dengan sengaja ingin mendatangkan sejarah purbakala di zaman ini. Seperti kisah Jurassic Park itu misalnya. Tersesat atau sengaja didatangkan tidak begitu penting bagi Pak Flintstone. Yang jelas sekarang ia harus hidup dalam sebuah peradaban yang sama sekali baru. Sebuah realitas yang pasti tak pernah sanggup ia bayangkan sebelumnya.
Sebagai manusia ia jelas harus meruang dan mewaktu. Dengan kalimat lain, ia musti menyejarah: membuat sejarah bersama orang-orang lain di masa sekarang--yang tidak harus merupakan kelanjutan atau hasil kumulasi proses pembuatan sejarah yang pernah ia lakukan sebelumnya bersama orang-orang sezamannya dahulu. Riwayat pendudukan manusia di bumi tidaklah pejal tapi banyak rengkahan. Yang satu tidak mesti berhubungan dengan lainnya dalam pola relasi sebab akibat, melainkan bisa saja tak pernah saling bertegur sapa. Riwayat yang satu muncul ketika yang ada sebelumnya telah lama hilang misalnya. Orang-orang yang merasa dirinya warga asli daerah Solo, jelas tidak niscaya kelanjutan dari spesies Homosoloensis. Kisah evolusi manusia dalam konteks sejarahnya, tidak harus sepenuhnya dipahami seperti kita melihat olahraga lari estafet.
Pak Flintstone membuat sebuah lompatan sejarah yang demikian jauh. Ia menemukan bahwa dibanding kondisi di zaman purbanya dahulu, dunia sekarang telah mengalami penyusutan spasial yang sangat drastis. Lepas dari ikatan jarak, hidup di zaman ini justru demikian terikat oleh gravitasi waktu. Manusia menundukkan ruang justru karena tidak ingin ketinggalan oleh waktu yang demikian cepat lajunya. Semua orang serba tergesa, entah memburu atau diburu. Waktu senggang jadi sesuatu yang langka dan sangat didambakan. Tapi juga sekaligus dicarikan cara yang paling efisien untuk membinasakannya. Pokoknya jangan sampai ada waktu yang terbuang tanpa menghasilkan apa-apa: "time is money" (beberapa orang teman saya mencoba menolak adagium ini dengan menuliskan "time is waktu" pada poster kegiatan mereka).
Pengecilan jarak menyebabkan biaya manusia untuk menjalani waktu menjadi semakin tinggi. Tenggang atau jeda tidak untuk dinikmati terlepas dari waktu-waktu utama, tapi justru untuk mempersiapkan diri menghadapi kesibukan berikutnya. Manusia beristirahat, piknik, nonton, nyanyi dsb., tidak untuk menikmati istirahat en soi, tapi sebagai resiko kumulatif dari penggunaan waktu sebelumnya, serta demi kebugaran stamina dalam penggunaan waktu setelahnya. Pertimbangan pertama orang menuntut libur bukan semata-mata kategori waktu liburnya sebagai sebuah kategori yang berdiri sendiri, melainkan sebagai sebuah kategori pelengkap yang keberadaannya digantungkan dan diorientasikan pada kategori waktu utama tadi: waktu tidak libur atau jam kerja. Kata rekreasi yang berarti penciptaan kembali, jelas menunjukkan orientasi seperti itu.
Maka di mana pun di dunia, masa istirahat menjadi demikian penting tapi sekaligus inferior di hadapan jam kerja. Waktu jadi saling terkait sedemikian rupa sehingga sulit untuk saling melupakan dan membagi harga yang sama pada masing-masingnya. Di lain sisi, hiburan yang dirasakan semakin dibutuhkan tidak dengan sendirinya didudukkan dalam nilai yang sama dengan kerja. Padahal ia juga telah menjadi sebuah bidang kerja yang serius. Artinya, para penghibur pun akhirnya membutuhkan hiburan.
Manusia diikat oleh sebuah obligasi untuk lebih banyak bekerja. Begitunya seriusnya filosofi kerja, Marx bahkan melihatnya sebagai hukuman bagi manusia. Kalau Sartre dengan muram mengatakan bahwa manusia dihukum untuk bebas, maka sebenarnya manusia juga dihukum untuk bekerja. Bekerja dalam beberapa ajaran bahkan dianggap sebagai panggilan suci bagi kebesaran tuhan. Jadi di dunia orang harus terus sibuk, sebab bersenang-senang ada waktu dan ruangnya sendiri: syurga. Jika sekarang etika seperti itu masih terus dipertahankan, bisa dibayangkan alangkah memuakkannya hidup ini.
Telah lama masyarakat Barat menginsyafi bahwa salah satu pangkal kekeringan nurani mereka adalah karena peradaban yang mereka bangun telah terlampau membenci kesenangan duniawi. Perpaduan antara etika Protestan, watak Puritan, dan materialisme berhasil mencetak mereka menjadi homo-faber yang gigih dan tegar. Dari warisan Rene Descartes dan Thomas Aquinas, mereka menerima keharusan untuk menjadi homo-intelectuallis. Tapi di balik semua itu, seperti diungkapkan penuh semangat oleh Harvey Cox dalam Feast of Fools, potensinya untuk bersukagembira, berpesta, itu diingkari habis-habisan. Maka yang terbentuk adalah tatanan teknokratis yang mencengangkan, tapi sekaligus melahirkan keharuan: kemiskinan melela di luar AS dan Eropa Utara, dekomposisi ekologis, dan nurani manusia Barat yang terlanjur terperangkap.
Alternatif yang mereka pilih--seperti tampak pada gerakan-gerakan kultural akhir dekade 1960-an-- adalah tindakan-tindakan Dionysian. Maka seperti dewa Dionysus atau Bacchus dalam mitologi Yunani, mereka mengindentifikasikan dirinya sebagai anak resmi Zeus dari Samele--manusia biasa-- yang diingkari, dan nyaris hangus terbakar oleh tangan petir ayahnya sendiri. Ia lantas menjadi dewa yang minor: tak berumah, terus bertualang bersama para satir, menandaskan anggur, berpesta pora. Konon asalmula perkembangan komedi sebagai genre kesusasteraan juga muncul dari perayaan-perayaan sukaria (Bahasa Yunani komos berarti "bersukagembira") menghormati sang dewa Dionysus. Dan kita tahu bahwa komedi lama Yunani ini bertahan dalam karya-karya satiris Aristophanes.
Cox menganjurkan mereka untuk belajar pada Asia dan Afrika tentang "bermain-bergembira" dan hidup, dengan satu syarat: kalau kedua tempat tersebut belum lagi bisa digusur oleh obsesi teknokratisasi. Barangkali Cox belum lagi menyadari bahwa yang ia sebut Asia dan Afrika, kini bukan lagi kawasan yang hanya sanggup mengundang decak kagum turistik, tapi juga bisa menyajikan tiruan-tiruan yang identik dengan Barat.
Manusia "primitif" mencari goa untuk berlindung dari malapetaka alam. Mereka disebut "primitif" antara lain juga karena belum sanggup mengatasi alam. Yang bisa dilakukannya adalah beradaptasi. Maka jika ada krisis karena gempa bumi, banjir atau bencana alam lainnya, goa-goa alamiah adalah tempat perlindungan terakhir. Goa bukan hanya tempat bersembunyi, melainkan benar-benar sebagai rumah pelindung dari terik, hujan badai dan malapetaka hati. Mereka tidak berusaha mengatasi alam. Sebab di matanya, alam adalah kekuasaan mutlak yang ada di atas kesanggupan manusia untuk menaklukkannya. Manusia modern mendirikan hunian-hunian megah yang tidak begitu jelas maknanya. Kita adalah orang-orang yang niscaya terus mencari rumah sambil mendirikan tempat tinggal. Bersikukuh pada pilihan kemakmuran sambil memelihara rindudendam. Karena itu pula kita telah menjadi sasaran tertawaan tokoh semacam Pak Flintstone.
Yogyakarta, 19 Maret 1996
Pernah dimuat dalam majalah MATRA edisi Agustus 1996